kambing...sapa sih yang tidak tau dengan hewan yang punya kaki empat dan feces yang bulat2 dan yang jantan punya tanduk sedangkan yang betinanya tidak punya tanduk..kambing punya banyak ragam warna mulai dari yang hitam sampai yang putih juga ada tapi seumur hidupku belum pernah ku temui kambing yang punya warna,merah,jingga,hijau dan biru(api ji paeng)...hehehehehe...kemarin siang sekitaran pukul 15:00..di pondokannya JIhad,ada seekor ibu kambig yang sedang merintih dan mengembik sekut tenaganya.,,entah apa yang terjadi padanya seakan mkeberadaannya disana seakan ingin mengatakan tolong..tolong..tolong sai k kodong...mungkin sperti itulah arti embikan sang kambing...suara itupun menggau komunitas yang ada disekitarnya..tak disangka dan tak diduga ternyata kambing itu ingin melahirkan..asumsi ini saya ambil setelah melihat cairan yang mungkin ketuban yang pecah dari anus sang ibu kambing disusul oleh kaki-kaki kecil yang mulai muncul berlahan-lahan..suara embikan kambing itu seakan semakin keras saja dan akhirnya dengan segala usaha dan kekuatan sang ibu kambing berhasil mengeluarkan anaknya yang pertama dan mungkin yang terkahir soalnya setelah anak pertamanya lahir dia kelihatan membersihkan sisa-sisa cairan yang ada di tubuh sang anak dan tak lama kemudian sang anak pun mulai mengmbik memanggil2 ibunya dan dari tatapan ibunya saya dapat mengartikan senyuman dan tatapan mata sang ibu seraya berkata "selamat datang di duni ini nak....emm..kalo melihat prosesi kelahiran sang anak kambing kedunia ini seakan membayangkan seorang ibu yang perjuangan dan pengorbanan yang sangat bahkan sampai mempertaruhkan nyawa hidupnya untuk seorang anak yangkan datang dan hadir di dunia ini,..peristiwa ini mengingatkan aku kepada ibuku yang sangat aku sayangi dan aku cintai..iu yang menjaga dan membesarkan aku sampai aku seperti ini,juga dengan semua wanita yang ada mereka jugakan melakukan prosesi itu(kalo g ada gangguan)melahirkan anak dan membesarkannya..bukan hanya ibuku dan wanita lainnya aku juga sempat tertegun melihat sosok wanita yang ada disampingku..seorang wanita yang tanpa henti menemaniku disaat ku terjatuh dan disaatku tertatih,disaat aku tertawa dan disaatku tersenyum..Nur Jihad Syahra..seorang wanita yang tak kalah hebatnya dari ibu kambing tadi yang menemaniku sampai saat ini.,,heheheha..(cebe'-cebe' i seng)..dinda jangan pernah kalah dengan waktu tuk menjaga cinta ini menjadi sebuah kenyataaan yang takkan lekang dimakan waktu...seperti sang ibu yang menjaga anknya hinga besar dan sampai usia sang ibu itu habis...aku sayang ibu dan juga calon ibu dari anak-anaku nantinya(Nur Jihad Syahra)...Amin...
Rabu, 03 Desember 2008
Jumat, 28 November 2008
emmm...seminar hasil.,
rabu 26 november....
pagi itu cuca agak sedikit mendung sedikit sinar mentari dan sedikit angin lembab bertandakan hujan...aku berpakaina kemeja putih dan jeans hitam...emm hari ini aku seminar..yach semianr hasil penelitianku selama ini...akhirnya perjuanganku untuk smeinar hasil berhasil juga yang paling buatku bertambah bahagia ini wanita disampingku ini adalah wanita yang bernama NUR JIHAD SYAHRA orang yang penuh perjuangan untuk bisa seminar hasil dengan cucuran keringat dan air mata mennyelesaikan skripsinya dengan penuh semangat..,akhirnya seminar juga...perjalanan seminar hasil ini bagikan memanjat tebing yang terjal dan sangat2 terjal untung disat kami terjatuh kami berusaha salaing mendorong satu sama lain untuk bisa kembali berjalan melewati semua ini walupun dengan cinta dan sedikit keras kepala(garoppola kapang)...yach inilah kami...persiapan seminar ini sedikit terganggu karna k yuli agak terlambat datang jadi LCD dan laptopnya agak terlamabta ynag membuat konsentrasi kami sedikit terganggu namun hal itu bukan masalah buat kami,.kami hanya butuh waktu sedikit saja agar kami bisa menyeimbangkan kembali keadaan kami menjadi kembali normal,.pertanyaan dari penyangga kami laphap habis dan begitu juga dari dosen...betul2 pengasaan materi yang sempurna(bukan puji ale tapi emang)hehehehehe....perjalanan ini adalah awal dari segalanya untuk menapatap dunia yang lebih nyata lagi...doakan kami pemirsa..doakan kami
Diposting oleh AnTeKpErT di 21.15 0 komentar
the journey of soppeng
perjalanan berikutnya yang teringat dalam benakku yang ini soppeng...soppeng adalah kota dimana a'dah,A.fahri,sahruni,Rahmayanidan jumharnita bertemat tinggal, perjalanan kali ini dikikuti lebih sedikti orang anggota yang tersisa dari perjalanan di banteang tidak semuanya ikut ke soppeng, perjalanan kesoppeng merupakan perjalanan yang menyengakan leja, rumanya a'dah,sahruni dan A.fahri, kebetulan juga sopeng dekat dengan sengkang tak pelak lagi perjalanan kali itu kami lanjutkan ke sengkang, dimana rumahnya,asni.A.riska,firmansyah,frida dan A.incing,.. perjalanan kami saat itu selalu saja di hantui oleh mati lampu..hehehehe itu yang teringat dibenakku sampai sekarang dimana kami sampai pasti mati lampu dan pasti gelap..(dasar penyedot listrik),...lejja merupakan salah satu tempat permandian air panas yang sangat indah terletak diantara pegunungan,..di sengkang menginap di rumahnya A.incing....rumah yang lumayan angker buat kami2 padahal rumah itu adalah rumah tuanya keluarnya A.incing..hehehehe...yang teringat lagi disaat itu pertengkarannya fatimah dan vcal perebutan bantal dan tempat tidur hehehehehe si fatima dan si vcal dah kayak suami istri yang mau pisah ranjang...wkwkwkwk..pagi harinya si fatima yang bangun kepagian dan tak punya kerjaan main sepeda dan parahnya bagaikan anak2 yang baru blajar main sepeda dia jalan denga kecepatan tinggi dan mengerem dengan rem depan dan akhirnya terjatuh bunyinya kaya nangka jatuh dan membangunkan a'dah...wkwkwkwk
teman2ku yang saya sayangi yang saya tulis ini adalah yang masih saya ingat di dalam benakku yang hampir kusan namun akkan pernah usang tuk memori perjalanan kita ini....we are the champion man...i miss u all
Diposting oleh AnTeKpErT di 20.50 1 komentar
journey of Bantaeng
Banteng....kota itu mengigatkan aku akan sebuah kenangan bersama sahabat2 yang sampai saat ini aku menganggap mereka suadaraku,..Banteang,..ketika khyaalku ku lemparkan kebelakangkan kulihat kembali kenangan itu....
pagi itu terasa sejuk sekali butaku,matahari bersinar dengan gagahnya menerangi kami(cozpat tm)namun saa itu aku terserang demam yang sangat membuat ku hampir tidak bisa mengikuti perjalan pertama kami ini, saat itu kami berangkat dengan personil pria aan,kico(kiki cowo'),maman,juanda,iping,v-cal,sahruni,a.Fachri, dan tentunya tuan tumah ikmal dan personil wanita jihad,mariani MHM, Loa(dibaca OLA)ti2n,imma,fatima,aida,vita dan fina,a'dah...hari pertama kami disana sangat menyenangkan makan malam, alunan gitar dari kicok, canda tawa dari iping dan juanda (hampir dikira homo)hehehehe...dan ma2n yang suka boker2....hari kedua kami lewati dengan berangkat ke daerah agrowisata LOKA tempat yang dingin dan tempat yang sangat sejuk kami pun berjalan sampai ke menara TVRI di puncak gunung,..hari itu adalah hari dimana v-cal melancarkan serangannya,serangan dadakan alias katakan cinta pada josephita namun pernyataan v-cal itu ditolak secara sedikit mentah oleh vita,.(sebenarnya mereka cocok:))..hari yang kurang menguntungkan buat v-cal..hari kedua kami habiskan dirumahnya vita dan malamnya kami jalan2 kepantai,.hari ketiga kami habiskan bersama2 dirumahnya fina kami semua bercanda dan tertawa bersama dan berangkat ke ERMES mandi dan foto2 dah kayak artis aja..malam terkahir kami habiskan dengan bakr2 ikan di ruhnya fina....emmm...
perjalanan ini adalah perjalanan pertama cozpat seumur hidupnya cozpat...teringat kembali akan sebuah kejayaan dan sebuah kebersamaan kita disaat kita tertawa dan disaaat kita bercanda....
Diposting oleh AnTeKpErT di 08.58 0 komentar
Senin, 03 November 2008
coklat lagi....
A. Sejarah Cokelat ( Theobroma cacao L )
Cokelat atau kakao merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon yang dikenal di Indonesia sejak tahun 1560, namun baru menjadi komoditi yang penting sejak tahun 1951. Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian dan mendukung industri kakao pada tahun 1975, setelah PTP VI berhasil menaikan produksi kakao per hektar melalui penggunaan bibit unggul Upper Amazon Interclonal Hybrid, yang merupakan hasil persilangan antar klon dan sabah. Tanaman tropis tahunan ini berasal dari Amerika Selatan. Penduduk Maya dan Aztec di Amerika Selatan dipercaya sebagai perintis pengguna kakao dalam makanan dan minuman. Sampai pertengahan abad ke XVI, selain bangsa di Amerika Selatan, hanya bangsa Spanyol yang mengenal tanaman kakao. Dari Amerika Selatan tanaman ini menyebar ke Amerika Utara, Afrika dan Asia
Kata coklat berasal dari xocoatl (bahasa suku Aztec) yang berarti minuman pahit. Suku Aztec dan Maya di Mexico percaya bahwa Dewa Pertanian telah mengirimkan coklat yang berasal dari surga kepada mereka. Cortes kemudian membawanya ke Spanyol antara tahun 1502-1528, dan oleh orang-orang Spanyol minuman pahit tersebut dicampur gula sehingga rasanya lebih enak. coklat kemudian menyebar ke Perancis, Belanda dan Inggris. Pada tahun 1765 didirikan pabrik coklat di Massachusetts AS. Pada tahun 2000, konsumsi produk coklat dunia diperkirakan mencapoai 5 juta ton.
Di Indonesia, cokelat pertama kali diperkenalkan dalam bentuk minuman hangat di Batavia (Jakarta) pada awal abad ke-18. Pada tahun 1780-1790 sudah ada panen cokelat di Batavia, namun hasilnya tidak signifikan. Kemudian pada tahun 1822,mulai ada di Manado, lalu tahun 1830 sudah tumbuh di Ambon Halmahera, dan pada tahun 1880 cokelat dikembangkan oleh perusahaan swasta di Pulau Bacan.
Pada tahun 1960, jumlah produksi biji cokelat di Indonesia masih sangat sedikit yaitu hanya 2.000 ton/tahun. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh rendahnya minat petani Indonesia untuk bertanam cokelat. Minat itu mulai tumbuh pada sekitar tahun 1970. Dan akhir tahun 1980, produksi cokelat Indonesia mulai meningkat dan sebagian besar berasal dari perkebungan cokelat di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan kawasan Indonesia bagian timur. Sekitar tahun 1988, jumlah produksi cokelat Indonesia sudah mencapai 60 ribu ton per tahun.
Pada saat ini, menurut data statistik, negara yang paling banyak mengkonsumsi cokelat adalah negara Swiss, dimana rata-rata warga negaranya mengkonsumsi 11 kg cokelat setiap tahunnya. Satu hal yang jarang diketahui orang, bahwa selain gula, lebih banyak lagi nutrisi yang terkandung dalam cokelat yang bermanfaat bagi kesehatan, seperti antioxidants, flavonoids, protein, kalsium, fosfor dan lainnya. Riset membuktikan bahwa konsumsi antioxidants dapat mengurangi resiko penyakit jantung dan kanker. Antioxidants dalam 1.4 ons cokelat, setara dengan kandungan antioxidants dalam segelas wine atau 2 gelas black tea.
B. Jenis Tanaman Cokelat ( Theobroma cocoa L )
Klasifikasi botani tanaman kakao adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Keluarga : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L.
Jenis kakao yang terbanyak dibudidayakan adalah jenis:
a. Criollo (Criollo Amerika Tengah dan Amerika Selatan) yang menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao mulia, fine flavour cocoa, choiced cocoa atau edel cocoa.
b. Forastero yang menghasilkan biji kakao bermutu sedang dan dikenal sebagai ordinary cocoa atau bulk cocoa.
c. Trinitario yang merupakan hibrida alami dari Criollo dan Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavour cocoa atau bulk cocoa. Jenis Trinitario yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybrida (Kakao lindak).
C. Pasca Panen Cokelat (Theobroma cacao L )
Pengumpulan
Buah yang telah dipanen biasanya dikumpulkan pada tempat tertentu dan dikelompokkan menurut kelas kematangan. Pemecahan kulit dilaksanakan dengan menggunakan kayu bulat yang keras.
Penyortiran/pengelompokkan
Biji kakao kering dibersihkan dari kotoran dan dikelompokkan berdasarkan mutunya:
a) Mutu A: dalam 100 gram biji terdapat 90-100 butir biji
b) Mutu B: dalam 100 gram biji terdapat 100-110 butir biji
c) Mutu C: dalam 100 gram biji terdapat 110-120 butir biji.
Penyimpanan
Biji kakao basah diperam (difermentasi) selama 6 hari di dalam kotak kayu tebal yang dilapisi aluminium dan bagian bawahnya diberi lubang-lubang kecil dengan cara sebagai berikut:
a) Tumpukkan biji di dalam kotak dengan tinggi tumpukan tidak lebih dari 75.
b) Tutup dengan karung goni atau daun pisang.
c) Aduk-aduk biji secara periodik (1 x 24 jam) agar suhu naik sampai 50 derajat C
Pengemasan dan Pengangkutan
Biji-biji cokelat yang sudah kering dapat dimasukan dalam karung goni. Tiap goni diisi 60 kilogram biji cokelat kering. kemudian karung-karung yang berisi biji cokelat kering tersebut disimpan dalam gudang yang bersih, kering dan berfentilasi yang baik. Sebaiknya biji cokelat tersebut sudah segera bisa dijual dan diangkut dengan menggunakan truk dan sebagainya. Penyimpanan di gudang, sebaiknya tidak lebih dari 6 bulan, dan setiap tiga bulan harus diperiksa untuk melihat ada tidaknya jamur atau hama yang menyerang biji cokelat.
D. Pengolahan Cokelat (Theobroma cacao L )
Salah satu tahapan penting dalam penanganan pengolahan kakao adalah proses fermentasi. Penanganan pascapanen kakao dimulai sejak pemetikan buah, fermentasi sampai pengeringan dan pengemasan. Proses fermentasi berlangsung secara alamiah selama beberapa hari. Tahapan ini sangat penting dilalui untuk mempersiapkan biji kakao basah menjadi biji kakao kering bermutu finggi dan layak dikonsumsi.
Fermentasi biji kakao akan menumbuhkan citarasa, aroma dan warna, karena selama fermentasi terjadi perubahan fisik, kimiawi dan biologi di dalam biji kakao. Di dalam biji kakao akan terjadi penguraian senyawn polifenol, protein den gula o!eh enzim. Penguraian senyawa-senyawa tersebut akan menghasilkan talon aroma, perbbikan rash dan perubahan warna.
Faktor yang berpengaruh terhndap keberhasilan fermentasi adalah wadah fermentasi, waktu, aerasi, pembalikan, aktivitas mikroba dan penguraian kandungan pulp. Penguraian knndungnn pulp ditentukan dengan lamanya pemeraman buah kakao setelah dipetik.
Fermentor (Wadah Fermentasi)
Wadah fermentasi yang baik digunakan yang terbuat dari papan kayu berbentuk kotak dilengkapi dengan lubang-lubang yang berfungsi sebagai tempat pengeluaran cairan dan aerasi. Jarak lubang biasanya 10-15 cm dengan diameter 1 cm. Ukuran kotak fermentasi berpengaruh pada peningkatan suhu dan dibuat sesuai dengan jumlah/volume kakao yang akan difermentasi (40, 200 atau 600 kg) dengan ketinggian tumpukan, tidak melebihi 42 cm.
Waktu Fermentasi
Waktu fermentasi bervariasi sesuai dengan jenis kakao yang difermentasi. Waktu fermentasi yang dianjurkan untuk kakao Lindak adalah 5 hari.
Pembalikan
Untuk mendapatkan hasil kakao fermentasi yang baik, dilakukan pembalikan biji kakao setelah 48 jam (2 hari) fermentasi. Pembalikan hanya dilakukan satu kali untuk menjaga suhu fermentnsi
Pemeraman Buah
Pemeraman buah bertujuan untuk membantu pembentukan citarasa dan aroma kakao. Disamping itu juga mempermudah proses fermentasi karena pemeraman akan menyebabkan pulp lebih mudah terlepas dari biji kakao. Waktu pemeraman berkisar antara 6 - 9 hari.
METODA
Prafermentasi
Pemetikan buah kakao dilakukan dengan menggunakan pisau, untuk buah yang tinggi menggunakan bambu panjang yang diujungnya diberi pisau. Buah kakao yang baru dipetik disimpan di tempat terbuka selama 6 - 9 hari (pemeraman). Pemecahan buah dilakukan dengan menggunakan kayu bulat, dihindari menggunakan pisau/parang untuk mencegah biji berwarna hitam.
Fermentasi
Biji kakao dimasukkan ke dalam kotak fermentasi dan ditutup dengan menggunakan plastik atau karung goni. Fermentasi dilakukan selama 5 hari dengan pembalikan 1 kali setelah 48 jam fermentasi. Akhir waktu fermentasi ditandai dengan 1), biji berwarna coklat dan agak kering serta aroma cuka yang menonjol, 2). Iapisan lendir di permukaan biji mudah terkelupas dan 3). Penampang bi ji nampak berongga, berwarna coklat dan warna ungu sudah hilang.
Perendaman dan Pencucian
Perendaman dan pencucian tidak mutlak dilakukan tergantung permintaan dari eksportir. Biji kakao yang sudah difermentasi direndam selama 2 - 3 jam dan dicuci secara hati-hati (ringan). Pencucian bertujuan untuk menghentikan proses fermentasi, mempercepat proses pengeringan dan memperbaiki kenampakan biji.
Pengeringan
Setelah dicuci, biji ditiriskan dan dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan dengan bantuan matahari atau menggunakan alat pengering (mekanis). Pengeringan bertujuan untuk mengunakan air yang tertinggal di dalam bi ji pasca fermentasi dan mendapatkan kakao dengan kadar air 6 - 7% (SNI 2003). Pengeringan dengan bantuan matahari menggunakan lantai jemur atau terpal dengan ketebalan lapisan biji 3 - 5 cm, hindari kontak dengan tanah
. Pembalikan dilakukan 1-2 jam, waktu pengeringan tergantung cuaca sekitar 7 - 14 hnri. Sedangkan pengeringan dengan alat pengering tergantung kapasitas alat dan bahan bakar yang digunakan..
E. Standar Mutu Cokelat
1. Karakteristik Fisik
Beberapa karakteris phisik biji kakao yang masuk dalam standar mutu meliputi,
1.1. Kadar air
Kadar air merupakan sifat phisik yang sangat penting dan sangat diperhatikan oleh pembeli. Selain sangat berpengaruh terhadap randemen hasil (yield), kadar air berpengaruh pada daya tahan biji kakao terhadap kerusakan terutama saat penggudangan dan pengangkutan. Biji kakao, yang mempunyai kadar air tinggi, sangat rentan terhadap serangan jamur dan serangga. Keduanya sangat tidak disukai oleh konsumen karena cenderung menimbulkan kerusakan cita-rasa dan aroma dasar yang tidak dapat diperbaiki pada proses berikutnya. Standar kadar air biji kakao mutu ekspor adalah 6 - 7 %. Jika lebih tinggi dari nilai tersebut, biji kakao tidak aman disimpan dalam waktu lama, sedang jika kadar air terlalu rendah biji kakao cenderung menjadi rapuh.
1.2. Ukuran biji
Seperti halnya kadar air, ukuran biji kakao sangat menentukan randemen hasil lemak. Makin besar ukuran biji kakao, makin tinggi randemen lemak dari dalam biji. Ukuran biji kakao dinyatakan dalam jumlah biji (beans account) per 100 g contoh uji yang diambil secara acak pada kadar air 6 - 7 %. Ukuran biji rata-rata yang masuk kualitas eskpor adalah antara 1,0 - 1,2 gram atau setara dengan 85 - 100 biji per 100 g contoh uji. Ukuran biji kakao kering sangat dipengaruhi oleh jenis bahan tanaman, kondisi kebun (curah hujan) selama perkembangan buah, perlakuan agronomis dan cara pengolahan Tabel 5 menunjukkan klasifikasi mutu biji kakao atas dasar ukuran biji per 100 g contoh uji.
1.3. Kadar kulit
Biji kakao terdiri atas keping biji (nib) yang dilindungi oleh kulit (shell). Kadar kulit dihitung atas dasar perbandingan berat kulit dan berat total biji kakao (kulit + keping) pada kadar air 6 - 7 %. Standar kadar kulit biji kakao yang umum adalah antara 11 - 13 %. Namun, nilai kadar kulit umumnya tergantung pada permintaan konsumen. Beberapa konsumen bersedia membeli biji kakao dengan kadar kulit di atas nilai tersebut. Mereka akan memperhitungkan koreksi harga jika kadar kulit lebih tinggi dari ketentuan karena seperti halnya ukuran biji, kadar kulit berpengaruh pada randemen hasil lemak.
Biji kakao dengan kadar kulit yang tinggi cenderung lebih kuat atau tidak rapuh saat ditumpuk di dalam gudang sehingga biji tersebut dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Sebaliknya, jika kadar kulit terlalu rendah, maka penjual (eksportir) biji kakao akan mengalami kerugian dalam bentuk kehilangan bobot . Jika kuantum pengiriman sangat besar, maka kehilangan kumulati dari selisih kadar kulit menjadi relatif besar. Kadar kulit biji kakao dipengaruhi oleh jenis bahan tanaman dan cara pengolahan (fermentasi dan pencucian). Makin singkat waktu fermentasi, kadar kulit biji kakao makin tinggi karena sebagian besar sisa lendir (pulp) masih menempel pada biji. Namun demikian, kandungan kulit biji tersebut dapat dikurangi dengan proses pencucian.
Diposting oleh AnTeKpErT di 13.34 0 komentar
Sabtu, 18 Oktober 2008
AW dan RH
aw adalah water activity, yaitu ukuran yang menyatakan energi suatu cairan.
Rumusnya adalah: aw = p/p0, di mana p adalah tekanan uap cairan itu, dan p0 adalah tekanan uap air murni pada suhu yang sama.
kalo relative humidity adalah kelembaban relatif yang merupakan persentase jumlah/kandungan uap air dalam satu volume tertentu terhadap total uap air pada saat jenuh. Kelembaban relatif dapat diukur dari tabel psycometri atau bisa juga dari persamaan berikut:
RH = ea/es X 100 %, dimana ea adalah tekanan uap aktual atau jumlah uap air dalam suatu ruangan pada kondisi sebenernya dan es adalah tekanan uap jenuh atau jumlah uap air dalam ruangan ketika akan mulai mengembun. satuan RH adalah persen, es sendiri nilainya dapat diturunkan dari persamaan Claysius-Clapeyron atau dilihat dari tabel.
Diposting oleh AnTeKpErT di 20.01 0 komentar
Prinsip Pengeringan (Dehidrasi) Pangan
Mikroorganisme membutuhkan air untuk pertumbuhan
dan perkembangbiakannya. Jika kadar air pangan dikurangi, pertumbuhan
mikroorganisme akan diperlambat.
Dehidrasi akan menurunkan tingkat aktivitas air (water activity
( aw) yaitu jumlah air yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakannya), berat dan volume pangan.
Prinsip utama dari dehidrasi adalah penurunan
kadar air untuk mencegah aktivitas mikroorganisme. Pada banyak produk, seperti sayuran, terlebih
dahulu dilakukan proses pengecilan ukuran (misalnya diiris) sebelum
dikeringkan. Pengecilan ukuran akan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga
akan mempercepat proses pengeluaran air.
Sebelum dikeringkan, bahan pangan sebaiknya diblansir untuk
menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan perubahan warna pangan menjadi
coklat.
Pengeringan dengan cara penjemuran dibawah sinar
matahari merupakan suatu metode pengeringan tertua. Proses penguapan air berjalan lambat,
sehingga pengeringan dengan cara penjemuran hanya dilakukan didaerah yang
iklimnya panas dan kering. Bahan yang
dijemur mudah terkontaminasi melalui polusi dan binatang seperti tikus dan
lalat.
Metode pengeringan lainnya telah dikembangkan oleh
industri pangan, dan biasanya cocok untuk digunakan pada produk pangan
tertentu. Contohnya adalah pengeringan
semprot dan pengeringan dengan menggunakan pengering model terowongan.
Pengeringan semprot (spray drying) cocok digunakan
untuk pengeringan bahan pangan cair seperti susu dan kopi (dikeringkan dalam
bentuk larutan ekstrak kopi). Cairan
yang akan dikeringkan dilewatkan pada suatu nozzle (semacam saringan
bertekanan) sehingga keluar dalam bentuk butiran (droplet) cairan yang sangat
halus. Butiran ini selanjutnya
masuk kedalam ruang pengering yang dilewati oleh aliran udara panas. Evaporasi air akan berlangsung dalam hitungan
detik, meninggalkan bagian padatan produk dalam bentuk tepung.
Pada pengeringan
menggunakan pengering model terowongan (tunnel drying), udara panas dihembuskan
melewati produk didalam ruang pengering yang berbentuk terowongan. Contoh produk yang dikeringkan dengan cara
ini adalah potongan sayuran kering.
Diposting oleh AnTeKpErT di 20.00 0 komentar
Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat
kaitannya dengan jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba
didalamnya. Jumlah air didalam bahan yang tersedia untuk pertumbuhan
mikroba dikenal dengan istilah aktivitas air (water activity = aw). Jika
kandungan air bahan diturunkan, maka pertumbuhan mikroba akan diperlambat.
Pertumbuhan bakteri patogen terutama
Staphylococcus aureus dan Clostridium botulinum dapat dihambat jika aw bahan
pangan < 0.8 sementara produksi toksinnya dihambat jika aw bahan pangan
kurang dari < 0.85. Sehingga, produk kering yang memiliki aw <
0.85, dapat disimpan pada suhu ruang. Tapi, jika aw produk >0.85
maka produk harus disimpan dalam refrigerator untuk mencegah produksi toksin
penyebab keracunan pangan yang berasal dari bakteri patogen.
Perlu diperhatikan bahwa nilai aw < 0.8
ditujukan pada keamanan produk dengan menghambat produksi toksin dari mikroba
patogen. Pada kondisi ini, mikroba pembusuk masih bisa tumbuh dan menyebabkan
kerusakan pangan. Bakteri dan kamir butuh kadar air yang lebih tinggi
daripada kapang. Sebagian besar bakteri terhambat pertumbuhannya pada aw
< 0.9; kamir pada aw < 0.8 dan kapang pada aw < 0.7. Beberapa
jenis kapang dapat tumbuh pada aw sekitar 0.62. Karena itu, kapang sering
dijumpai mengkontaminasi makanan kering seperti ikan kering dan asin yang tidak
dikemas. Penghambatan mikroba secara total akan terjadi pada aw bahan pangan
< 0.6.
Diposting oleh AnTeKpErT di 19.57 0 komentar
reneable energy
In the popular movie, Forrest Gump, the title character tells everyone he meets, “Life is like a box of chocolates; you never know what you’re going to get.”
What researchers got when they tried an experiment with chocolate and bacteria was a sweet new source of clean, renewable energy, according to a report in the journal Biochemical Society Transactions.
Bacteria Produce Hydrogen from Chocolate Waste
Microbiologist Lynne Mackaskie and her team of researchers at the University of Birmingham in the UK found a way to produce hydrogen by feeding waste products from a chocolate factory to Escherichia coli bacteria.
The researchers fed the bacteria (better known as E. coli bacteria) diluted caramel and nougat waste left over from the chocolate-making process. The experiment created conditions that caused the bacteria to ferment the sugars in the chocolate waste, which generated organic acids so toxic to the bacteria that they began converting formic acid to hydrogen like mad.
The researchers used the hydrogen to power a fuel cell, which generated enough electricity to run a small fan. Hydrogen is one of the cleanest renewable fuels around. When it is used to power fuel cells, for example, the only byproduct is water.
A Breakthrough for Renewable Energy
The discovery of a way to extract hydrogen from food waste could be a real breakthrough for both industry and the environment, because the process isn’t restricted to chocolate waste. It works equally well on many other types of waste.
The ability to convert food waste into clean renewable energy instead of garbage has the potential to transform the food industry. Using this process, food factories could conceivably use their own waste products to power their manufacturing operations, or to fuel a fleet of hydrogen-powered vehicles.
“Hydrogen offers huge potential as a carbon-free energy carrier,” Mackaskie said in a university press release. “Although only at its initial stages, we’ve demonstrated a hydrogen-producing, waste-reducing technology that, for example, might be scaled-up in 5-10 years’ time for industrial electricity generation and waste treatment processes.”
Value of New Renewable Energy Source Widespread
Mackaskie and her researchers found that E. coli bacteria also have other industrial uses. For example, when bacteria were added to a production line that recovers the precious metal palladium from the catalytic converters of old cars, the results were remarkable.
Bacteria were added to a vat filled with hydrogen and liquid waste from old converters. Essentially, the bacteria produced hydrogenase, which split the hydrogen into electrons that bonded with palladium trapped in the converter waste, and then stuck to the bacteria. Once the bacteria were coated with palladium, they could be recycled as catalysts for other industrial processes.
So the next time you decide to sneak a candy bar or indulge in a rich chocolate dessert, forgive yourself the extra calories. With every bite, you may be helping to save the planet.
Renewable Energy & Alternative Fuels
Sweden Aims to be First Oil-free NationBiofuels: The Pros and Cons of BiofuelsTurning Pet Feces Into Power
Diposting oleh AnTeKpErT di 00.45 0 komentar
Mengubah Limbah Menjadi Energi Bersih
Limbah adalah masalah lingkungan hidup utama bagi semua negara. Bila ada lebih banyak orang di seluruh dunia menjalankan prinsip Mengurangi, Menggunakan Kembali, dan Mendaur Ulang sebagai bagian dari gaya hidup mereka, maka jumlah limbah yang dihasilkan akan jauh berkurang. Lebih baik lagi bila kita dapat mengubah limbah menjadi energi yang bersih dan menggunakannya kembali. Hal ini tidak saja mengurangi masalah TPA, juga akan mengurang emisi gas rumah hijau.
Berbagai proyek pengembangan ramah lingkungan dimulai di seluruah dunia dan memberikan gambaran yang jelas bahwa pengembangan yang mendukung lingkungan hidup dan mencegah perubahan iklim merupakan tujuan yang dapat dicapai.
Pabrik Bio-Metanisasi Pertama di Singapura
Pada Tahun Emas 2 (Tahun 2005), sebuah pabrik pengolahan limbah organik dibangun di Singapura oleh perusahaan limbah IUT. Pabrik ini dibuat untuk mengubah sampah makanan dan sampah organik dari hotel, dapur, dan pabrik makanan menjadi energi bersih dan kompos. Dengan menggunakan proses bio-metanisasi, maka bakteri akan menguraikan sampah makanan menjadi kompos serta gas metan. Gas ini ditampung dan digunakan untuk menjadi bahan bakar mesin besar bertenaga gas untuk menghasilkan listrik. Ini adalah yang pertama di Singapura dan terbesar di Asia. Pabrik ini memiliki kapasitas 800 ton sampah organik setiap harinya dan menghasilkan listrik yang cukup untuk menjalankan operasi pabrik ini serta lebih dari 10.000 fasilitas industri lainnya.
Banyak negara lain yang juga memiliki pengembangan yang sama, atau membantu petani serta industri pabrik untuk memiliki fasilitas mengubah sampah di pabrik mereka sendiri sehingga energi yang dihasilkan menjadi lebih murah dan tersedia dengan cepat.
Referensi: http://www.iutglobal.com/iut-tech-bio-methanisation.asp
Generator Ringan yang Mengubah Sampah Menjadi Listrik
Professor Nathan Mosier of the Purdue University works with the tactical biorefinery designed to convert waste into electricity
Peneliti dari Universitas Purdue telah menciptakan kilang bahan bakar bio ringan, sebesar sebuah kendaraan van, yang mengubah makanan, kertas, dan sampah plastik menjadi listrik.
Kilang bahan bakar bio ini memproses limbah yang beraneka ragam pada saat yang sama. Sampah makanan difermentasikan menjadi etanol dengan menggunakan ragi industri serta mengubah plastik, kertas, maupun residu sampah lainnya menjadi metana dan propane kualitas rendah yang menggunakan unit gas. Gas dan etanol kemudian disalurkan ke pembakaran mesin disel yang menjadi sumber tenaga generator untuk menghasilkan listrik. Sistem ini sangat efisien dan dapat menghasilkan 90% energi lebih banyak dari yang dibutuhkan sistem ini sendiri, dengan sisa pembakaran abu yang tidak berbahaya.
Walaupun dikembangkan untuk digunakan oleh militer, penciptanya berharap agar dapat digunakan oleh masyarakat sipil, seperti di daerah pemulihan bencana atau sebagai sistem pembangkit tenaga tambahan.
Referensi: http://www.technologyreview.com/Energy/18183/
Mengubah Biomass dan Sampah Makanan Menjadi Energi yang Bisa Dipergunakan
Profesor Ruihong Zhang dari UC Davis menyekop sisa makanan dari restoran di San Francisco ke sistem pengubah energi biogas
Profesor Ruihong Zhang di kampus Universitas California Davis telah mengembangkan pencerna anaerobik yang menggunakan bakteri untuk mengubah sampah makanan, sisa hasil panen, dan biomass lainnya menjadi gas hidrogen serta metana yang dapat dibakar untuk menghasilkan listrik atau digunakan sebagai bahan bakar kendaraan.
Proyek Energi Biogas dimulai oleh universitas tersebut dan dianggap sebagai alat peraga berskala besar yang pertama dari teknologi ini di Amerika Serikat. Setiap ton sampah makan dapat menghasilkan energi yang cukup untuk menghasilkan listrik bagi 10 rumah di Kalifornia setiap hari.
Sistem yang dikembangkan Profesor Zhang berbeda dari pencerna anaerobik lainnya yang dibiasanya digunakan di sarana pengolahan air kotor dan peternakan. Sistem ini dapat memproses lebih banyak macam benda padat dan sampah cair, termasuk sisa makanan, sampah pekarangan, rabuk hewan, dan jerami padi. Dibandingkan dengan sistem lainnya, sistem ini lebih efisien serta hanya memerlukan setengah dari waktu yang biasanya diperlukan untuk mengubah sampah menjadi energi. Lebih jauh lagi sistem ini menghasilkan dua gas bersih - hidrogen dan metana, sementara sistem yang lain hanya menghasikan metana.
Referensi: http://www.news.ucdavis.edu/search/news_detail.lasso?id=7915
Membuat Energi dari Air Asam
Petani Moses Urio berharap agar dia tidak harus membeli diesel lagi
Di Tanzania, sebuah pengalih bio-gas dikembangkan sebagai bagian dari proyek yang lebih besar yang didanai pemerintah Swiss untuk memberikan penghasilan tambahan kepada para petani kopi.
Sistem pengalih ini dapat mendaur-ulang limbah dari proses biji kopi mentah, yang sangat asam. Sifat asam ini sangat disukai oleh mikroorganisme, dan hasil akhir dari proses ini adalah gas metana yang dapat digunakan untuk menggantikan diesel sebagai sumber tenaga mesin para petani.
Sistem pengalih bio-gas ini tidak hanya menolong para petani untuk mendapatkan uang yang lebih banyak dari kopi mereka, tetapi juga dapat mengurangi pengrusakan lingkungan yang dapat disebabkan oleh air yang bersifat asam.
Referensi: http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/6571547.stm
Menggunakan Bakteri untuk Memisahkan Hidrogen dari Sampah Coklat
Tim Riset Inggris yang dipimpin oleh Lynne Mackaskie di Universitas Birminghan, Inggris Tengah, menemukan bahwa bakteri Escherichia coli, bila diberi makan dengan limbah dari pabrik coklat maka akan memproduksi hidrogen, salah satu bahan bakar dari daur ulang paling bersih. Penemuan bahwa Hidrogen dapat dipisahkan dari sampah makanan dapat merupakan penemuan penting baik bagi industri dan lingkungan karena proses ini bekerja baik dengan banyak jenis limbah lainnya, tidak terbatas hanya pada limbah coklat.
Referensi: http://environment.about.com/od/renewableenergy/a/chocolatefuel.htm
Mengubah Limbah Makanan Menjadi Gas untuk Masak
Sebuah laboratorium nasional di Filipina telah mengembangkan biogas ringan ramah lingkungan yang dapat mengubah sampah dapur menjadi gas yang dapat digunakan melalui proses fermentasi alami. Sistem ini dapat menyimpan lebih dari 211 liter sampah dapur yang dapat diuraikan. Proses fermentasi memakan waktu semalam dan gas yang dihasilkan dapat digunakan untuk keperluan masak untuk satu hari.
Referensi: http://www.ebc.org.ph/
Diposting oleh AnTeKpErT di 00.26 1 komentar
Kamis, 25 September 2008
huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
ngntuk banget malam niy...dah jemout on gazalba sekeluarga, dilanjutkan dengan kedatangan pak riscal dan ibu dirumah jadi pembicaraan semakin seru dan barusan tadi pulang....dan sekarang blom tidur..mana idung mampet pala puyeng dan perut g karuan..but mam niy dapat sms dari jihad yang buatku semakin semangat hore,,,...mau posting picung dan peyimpanan buat vivi tapi g dapat2,.dari tadi nyari dan dari tadi juga g ada di google..mau suar dulu ah...keep koment yach...
Diposting oleh AnTeKpErT di 03.13 0 komentar
Minggu, 21 September 2008
Edible Film Controls Growth Of Bacteria On Chicken
Edible Film Controls Growth Of Bacteria On Chicken
ScienceDaily (July 29, 2002) — FAYETTEVILLE, Ark. -- An edible film consisting of two protein-based substances can prevent growth of Listeria monocytogenes bacteria on ready-to-eat chicken, creating a safer product for consumers, according to a University of Arkansas study. Using this method, food scientists Marlene Janes and Mike Johnson were able to reduce bacterial counts below detectable levels for 24 days. Their research will be published in an upcoming issue of the Journal of Food Science.
"Food production occurs in several stages, each of which provides potential opportunities for bacterial contamination," says Johnson. Chickens grown for commercial food production live in crowded conditions that are ideal for the spread of bacteria. Thorough cooking will kill most dangerous bacteria that evade safety measures in the food production chain. But pre-cooked foods may become re-contaminated between the cooking and final packaging steps.
Ready-to-eat meals, kept in the refrigerator until needed, provide a niche for bacteria that thrive at low temperatures. Listeria bacteria, which can survive refrigeration and can contaminate foods such as deli meat and hot dogs, pose a special risk to children, the elderly, and pregnant women, often causing serious illness and miscarriage.
Along with Janes (now an assistant professor at Louisiana State University), Johnson explored a method that involves coating the food with an edible protein substance called zein, along with nisin, a natural biopreservative protein substance that kills bacteria. Johnson and Janes found that the resulting combination, which is harmless to humans, effectively kills Listeria bacteria that may re-contaminate foods between the cooking and packaging steps.
Johnson and Janes purchased chicken breast tenders from a local supermarket, cut them into 5-gram pieces, froze the pieces, and had them irradiated to eliminate bacteria. The researchers then cooked and cooled the chicken pieces, immersed them in Listeria cultures, and dipped them in solutions containing edible zein films with and without nisin.
The researchers refrigerated their samples and determined bacterial counts after 0, 4, 8, 16 and 24 days. They found that the samples treated with zein and nisin showed significantly reduced bacterial counts compared to non-treated samples. The combination of zein with nisin and calcium propionate was the most effective, resulting in non-detectable levels of Listeria within 24 days when refrigerated at 4 degrees Celsius (40 degrees Fahrenheit).
Johnson, coordinator for research programs at the Center for Food Safety and Quality in the University of Arkansas' Institute for Food Science and Engineering, sees food safety research as one of the primary purposes of a modern land-grant institution: to improve continuously the microbial safety of food production and processing practices from farm to fork.
Americans enjoy one of the safest and most abundant food supplies in the world. Food production is mostly automated and large-scale. This incredible system delivers the ample quantity, staggering variety, and year-round availability that we have come to expect. Problems are rare, but when they do occur, the nature of mass production means that repercussions are widespread or even national in scope. Bacterial contamination anywhere in the production chain can cause serious human disease outbreaks, often scattered over a large geographical area.
The CDC estimates that foodborne disease causes 76 million illnesses, over 300,000 hospitalizations, and 5,000 deaths each year in the United States alone. Although most victims suffer only minor inconvenience, some of these diseases can be quite dramatic and even fatal.
Changing consumer preferences for more fresh and ready-to-eat foods that are distributed refrigerated rather than frozen has coincided with an increase in cases of foodborne listeriosis. Between July 1998 and January 1999, Listeria outbreaks forced four companies to recall millions of pounds of ready-to-eat meat products. Innovative measures are needed to control this pathogen, minimizing the health risks and economic losses that can result from foodborne disease. Johnson and Janes' method should prove useful in reaching this goal.
What are some things consumers can do to protect themselves from the pathogenic bacteria that may inadvertently make their way through the food production process? Above all, raw poultry and raw ground meats should be thoroughly cooked, and utensils that have been in contact with raw meat should not be reused for raw salads, vegetables, or any other foods that are consumed without a cooking step. Refrigerated leftovers should be consumed within one or two days or frozen. Checking labels and storage instructions is a commonsense practice worth turning into a habit: Johnson and his family pay special attention to expiration dates, especially those on deli meats and other pre-cooked foods.
For Johnson and other food scientists, food safety is a matter of minimizing risks as much as possible, risks that will never completely go away. Cooperation and openness among food producers, scientists, and consumers are the best ways to achieve the balance that will help us reduce the risks as much as we can and respond quickly and effectively to any problems that may arise. Pathogenic bacteria, tiny but formidable adversaries, demand eternal vigilance. " Even with our continued best efforts, we likely will be able to keep up with them, but maybe never get ahead of them," Johnson says.
Diposting oleh AnTeKpErT di 01.01 0 komentar
komposisi kimia coklat
komposisi kimia masing-masing jenis coklat berbeda namun unsur utamanya adalah:
1. Karbohidrat
2. Protein
3. Lemak, asam oleat, asam stearat dan asam palmitat
4. Vitamin B riboflavin
5. Mineral : kalsium,Fe,Zn
6. Niacin
KANDUNGAN GIZI COKLAT pada Coklat Susu dan Coklat Pahit per 100 gram adalah :
Coklat Susu mengandung Energi (Kal) 381, Protein (g) 9, Lemak (g) 35,9, Kalsium (mg) 200, Fosfor (mg) 200 dan Vit A (SI) 30.
Coklat Pahit mengandung Energi (Kal) 504, Protein (g) 5,5, Lemak (g) 52,9, Kalsium (mg) 98 dan Vit A (SI) 60
Diposting oleh AnTeKpErT di 00.23 0 komentar
SNI Coklat
standarisasi mutu Coklat Indonesia
Mutu
I Bentuk biji : Bulat,lonjong penuh, tebal 1 cm, panjang 1,5 cm dan lebar 1,5 cm Warna : Coklat rata dan cerah, Bau : Khas coklat, % ka (b/b) maks : 8, % kadar lemak (b/b) min : 55
II Bentuk biji : sedikit berlekuk-lekuk, warna : Coklat rata dan cerah atau coklat muda, Bau : Khas coklat, % ka (b/b) maks : 8, % kadar lemak (b/b) min 55
II Bentuk biji : Keriput, warna : Coklat rata dan cerah atau coklat muda, Bau : Khas coklat, % ka (b/b) maks : 8, % kadar lemak (b/b) min 55
IV Bentuk biji :Pecahan bercampur hitam (bagian yang terkupas kulitnya), Bau : Khas coklat, % ka (b/b) maks: 8, % kadar lemak (b/b) min 55
Diposting oleh AnTeKpErT di 00.22 0 komentar
komposisi kimia pulp,biji dan buah kakao
Kulit Buah Kakao
• kulit buah coklat adalah kulit bagian terluar yang menyelubungi biji coklat dengan tekstur kasar, tebal dan agak keras.
• Kulit buah memiliki 10 alur dengan ketebalan 1 – 2 cm.
• Pada waktu muda, biji menempel pada bagian dalam kulit buah, tetapi saat masak biji akan terlepas dari kulit buah.
• Buah yang masak akan berbunyi bila digoncang
Pulp dan Biji Buah Kakao
• Permukaan biji kakao diselimuti pulp yang berwarna putih.
• Pulp merupakan jaringan halus berlendir dan melekat ketat pada biji kakao.
• Pulp sebagian besar terdiri dari air dan sebagian kecil berupa gula
• Keping biji meliputi 86% sampai 90% dari berat kering keeping biji, sedangkan kulit biji sekitar 10 – 14 %.
Komposisi Kimia Pulp
Kandungan
Air 80 – 90 (%)
Kandungan Albuminoid 0.5 – 0.7 (%)
Glukosa 8 – 13 (%)
Pati Sedikit
Asam yang tidak menguap 0.2 – 0.4 (%)
Besi oksidasi 0.03 (%)
Sukrosa 0.4 – 1.0 (%)
Garam-garam 0.4 – 0.45 (%)
Komposisi Kimia Kulit Buah
Protein Kasar 5.69-9.69 Garam-garam :
Lemak 0.02-0.15 CaO 0.22-0.59
Glukosa 1.16-3.92 mgO 0.40-0.52
Sukrosa 0.02-0.18 K2O 3.85-5.27
Pektin 5.30-7.08 P2O5 0.30-0.49
Serat Kasar 33.19-39.45 SO2 0.06-0.14
Diposting oleh AnTeKpErT di 00.21 0 komentar
butter
For other uses, see Butter (disambiguation).
Butter is commonly sold in sticks (pictured 4 oz/110 g) or blocks, and frequently served with the use of a butter knife.
Butter is commonly sold in sticks (pictured 4 oz/110 g) or blocks, and frequently served with the use of a butter knife.
Butter is a dairy product made by churning fresh or fermented cream or milk. It is used as a spread and a condiment, as well as in cooking applications such as baking, sauce making, and frying. Butter consists of butterfat, water and milk proteins.
Most usually made from cows' milk, butter can also be manufactured from that of other mammals, including sheep, goats, buffalo, and yaks. Salt, flavorings and preservatives are sometimes added to butter. Rendering butter produces clarified butter or ghee, which is almost entirely butterfat. Butter remains a solid when refrigerated, but softens to a spreadable consistency at room temperature, and melts to a thin liquid consistency at 32–35 °C (90–95 °F).
The density of butter is 911 kg/m3 (1535.5 lb/yd3).[1] It generally has a pale yellow color, but varies from deep yellow to nearly white. Its color is dependent on the animal's feed and is commonly manipulated with food colorings in the commercial manufacturing process, most commonly annatto or carotene.
Etymology
The word butter derives (via Germanic languages) from the Latin butyrum, which is borrowed from the Greek boutyron. This may have been a construction meaning "cow-cheese" (bous "ox, cow" + tyros "cheese"), or the word may have been borrowed from another language, possibly Scythian.[2] The root word persists in the name butyric acid, a compound found in rancid butter and dairy products such as Parmesan cheese.
In general use, the term "butter" refers to the spread dairy product when unqualified by other descriptors. The word commonly is used to describe puréed vegetable or nut products such as peanut butter and almond butter. It is often applied to spread fruit products such as apple butter. Fats such as cocoa butter and shea butter that remain solid at room temperature are also known as "butters". In addition to the act of applying butter being called "to butter", non-dairy items that have a dairy butter consistency may use "butter' to call that consistency to mind, including food items such as maple butter and witch's butter and non-food items such as baby bottom butter, hyena butter, and rock butter.
Production
Main article: Churning (butter)
Today, commercial butter-making is a carefully-controlled operation.
Unhomogenized milk and cream contain butterfat in microscopic globules. These globules are surrounded by membranes made of phospholipids (fatty acid emulsifiers) and proteins, which prevent the fat in milk from pooling together into a single mass. Butter is produced by agitating cream, which damages these membranes and allows the milk fats to conjoin, separating from the other parts of the cream. Variations in the production method will create butters with different consistencies, mostly due to the butterfat composition in the finished product. Butter contains fat in three separate forms: free butterfat, butterfat crystals, and undamaged fat globules. In the finished product, different proportions of these forms result in different consistencies within the butter; butters with many crystals are harder than butters dominated by free fats.
Churning cream into butter using a hand held mixer
Churning cream into butter using a hand held mixer
Churning produces small butter grains floating in the water-based portion of the cream. This watery liquid is called buttermilk—although the buttermilk most common today is instead a directly fermented skimmed milk. The buttermilk is drained off; sometimes more buttermilk is removed by rinsing the grains with water. Then the grains are "worked": pressed and kneaded together. When prepared manually, this is done using wooden boards called scotch hands. This consolidates the butter into a solid mass and breaks up embedded pockets of buttermilk or water into tiny droplets.
Commercial butter is about 80% butterfat and 15% water; traditionally-made butter may have as little as 65% fat and 30% water. Butterfat consists of many moderate-sized, saturated hydrocarbon chain fatty acids. It is a triglyceride, an ester derived from glycerol and three fatty acid groups. Butter becomes rancid when these chains break down into smaller components, like butyric acid and diacetyl. The density of butter is 0.911 g/cm3 (527 oz/in3), about the same as ice.
Types
Hand-made butter
Hand-made butter
Before modern factory butter making, cream was usually collected from several milkings and was therefore several days old and somewhat fermented by the time it was made into butter. Butter made from a fermented cream is known as cultured butter. During fermentation, the cream naturally sours as bacteria convert milk sugars into lactic acid. The fermentation process produces additional aroma compounds, including diacetyl, which makes for a fuller-flavored and more "buttery" tasting product.[3] Today, cultured butter is usually made from pasteurized cream whose fermentation is produced by the introduction of Lactococcus and Leuconostoc bacteria.
Another method for producing cultured butter, developed in the early 1970s, is to produce butter from fresh cream and then incorporate bacterial cultures and lactic acid. Using this method, the cultured butter flavor grows as the butter is aged in cold storage. For manufacturers, this method is more efficient since aging the cream used to make butter takes significantly more space than simply storing the finished butter product. A method to make an artificial simulation of cultured butter is to add lactic acid and flavor compounds directly to the fresh-cream butter; while this more efficient process is claimed to simulate the taste of cultured butter, the product produced is not cultured but is instead flavored.
When heated, butter quickly melts into a thin liquid.
When heated, butter quickly melts into a thin liquid.
Dairy products are often pasteurized during production to kill pathogenic bacteria and other microbes. Butter made from pasteurized fresh cream is called sweet cream butter. Production of sweet cream butter first became common in the 19th century, with the development of refrigeration and the mechanical cream separator.[4] Butter made from fresh or cultured unpasteurized cream is called raw cream butter. Raw cream butter has a "cleaner" cream flavor, without the cooked-milk notes that pasteurization introduces.
Throughout Continental Europe, cultured butter is preferred, while sweet cream butter dominates in the United States and the United Kingdom. Therefore, cultured butter is sometimes labeled European-style butter in the United States. Commercial raw cream butter is virtually unheard-of in the United States. Raw cream butter is generally only found made at home by consumers who have purchased raw whole milk directly from dairy farmers, skimmed the cream themselves, and made butter with it. It is rare in Europe as well.[5]
Several spreadable butters have been developed; these remain softer at colder temperatures and are therefore easier to use directly out of refrigeration. Some modify the makeup of the butter's fat through chemical manipulation of the finished product, some through manipulation of the cattle's feed, and some by incorporating vegetable oils into the butter. Whipped butter, another product designed to be more spreadable, is aerated via the incorporation of nitrogen gas—normal air is not used, because doing so would encourage oxidation and rancidity.
Butter sold in a London market, salted (right) and unsalted (left)
Butter sold in a London market, salted (right) and unsalted (left)
All categories of butter are sold either in salted and unsalted forms. Either granular salt or a strong brine are added to salted butter during processing. Regions that favor sweet cream butter tend to prefer salted butter, possibly as a result of the more bland taste of uncultured butter. In addition to the enhanced flavor, the addition of salt acts as a preservative.
The amount of butterfat in the finished product is a vital aspect of production. In the United States, products sold as "butter" are required to contain a minimum of 80% butterfat; in practice most American butters contain only slightly more than that, averaging around 81% butterfat. European butters generally have a higher ratio, which may extend up to 85%.
Clarified butter is butter with almost all of its water and milk solids removed, leaving almost-pure butterfat. Clarified butter is made by heating butter to its melting point and then allowing it to cool off; after settling, the remaining components separate by density. At the top, whey proteins form a skin which is removed, and the resulting butterfat is then poured off from the mixture of water and casein proteins that settle to the bottom.[6]
Ghee is clarified butter which is brought to higher temperatures of around 120 °C (250 °F) once the water has cooked off, allowing the milk solids to brown. This process flavors the ghee, and also produces antioxidants which help protect it longer from rancidity. Because of this, ghee can keep for six to eight months under normal conditions.[6]
History
Traditional butter-making in Palestine. Ancient techniques were still practiced in the early 20th century. National Geographic, March 1914.
Traditional butter-making in Palestine. Ancient techniques were still practiced in the early 20th century. National Geographic, March 1914.
Since even accidental agitation can form butter from cream, it is likely that its invention dates from the earliest days of dairying, perhaps in the Mesopotamian area between 9000 and 8000 BCE.[citation needed] The earliest butter would have been from sheep or goat's milk; cattle are not thought to have been domesticated for another thousand years.[7] An ancient method of butter making, still used today in parts of Africa and the Near East, involves a goat skin half filled with milk, and inflated with air before being sealed. The skin is then hung with ropes on a tripod of sticks, and rocked until the movement leads to the formation of butter.
Butter was known in the classical Mediterranean civilizations, but it does not seem to have been a common food.[citation needed] In the Mediterranean climate, unclarified butter spoils quickly— unlike cheese it is not a practical method of preserving the nutrients of milk. The ancient Greeks and Romans seemed to have considered butter a food fit more for the northern barbarians. A play by the Greek comic poet Anaxandrides refers to Thracians as boutyrophagoi; "butter-eaters".[8] In Natural History, Pliny the Elder calls butter "the most delicate of food among barbarous nations", and goes on to describe its medicinal properties.[9] Later, the physician Galen also described butter as a medicinal agent only.[10]
Historian and linguist Andrew Dalby says that most references to butter in ancient Near Eastern texts should more correctly be translated as ghee. Ghee is mentioned in the Periplus of the Erythraean Sea as a typical trade article around the 1st century CE Arabian Sea, and Roman geographer Strabo describes it as a commodity of Arabia and Sudan.[8] In India, ghee has been a symbol of purity and an offering to the gods—especially Agni, the Hindu god of fire—for more than 3000 years; references to ghee's sacred nature appear numerous times in the Rig Veda, circa 1500–1200 BCE. The tale of the child Krishna stealing butter remains a popular children's story in India today. Since India's prehistory, ghee has been both a staple food and used for ceremonial purposes such as fueling holy lamps and funeral pyres.
Middle ages
Woman churning butter; Compost et Kalendrier des Bergères, Paris, 1499.
Woman churning butter; Compost et Kalendrier des Bergères, Paris, 1499.
The cooler climates of northern Europe allowed butter to be stored for a longer period before it spoiled. Scandinavia has the oldest tradition in Europe of butter export trade, dating at least to the 12th century.[11] After the fall of Rome and through much of the Middle Ages, butter was a common food across most of Europe, but one with a low reputation, and was consumed principally by peasants. Butter slowly became more accepted by the upper class, notabally when the early 16th century Roman Catholic Church allowed its consumption during Lent. Bread and butter became common fare among the middle class and the English, in particular, gained a reputation for their liberal use of melted butter as a sauce with meat and vegetables.[12]
In antiquity, Butter was used for fuel in lamps as a substitute for oil. The Butter Tower of Rouen Cathedral was erected in the early 16th century, when Archbishop Georges d'Amboise, Oil was scarce at the time, authorised the burning of butter instead of oil during Lent.[13]
Across northern Europe, butter was sometimes treated in a manner unheard-of today: it was packed into barrels (firkins) and buried in peat bogs, perhaps for years. Such "bog butter" would develop a strong flavor as it aged, but remain edible, in large part because of the unique cool, airless, antiseptic and acidic environment of a peat bog. Firkins of such buried butter are a common archaeological find in Ireland; the Irish National Museum has some containing "a grayish cheese-like substance, partially hardened, not much like butter, and quite free from putrefaction." The practice was most common in Ireland in the 11th–14th centuries; it ended entirely before the 19th century.[11]
Industrialization
Like Ireland, France became well-known for its butter, particularly in Normandy and Brittany. By the 1860s, butter had become so in demand in France that Emperor Napoleon III offered prize money for an inexpensive substitute to supplement France's inadequate butter supplies. A French chemist claimed the prize with the invention of margarine in 1869. The first margarine was beef tallow flavored with milk and worked like butter; vegetable margarines followed after the development of hydrogenated oils around 1900.
Gustaf de Laval's centrifugal cream separator sped the butter-making process.
Gustaf de Laval's centrifugal cream separator sped the butter-making process.
Until the 19th century, the vast majority of butter was made by hand, on farms. The first butter factories appeared in the United States in the early 1860s, after the successful introduction of cheese factories a decade earlier. In the late 1870s, the centrifugal cream separator was introduced, marketed most successfully by Swedish engineer Carl Gustaf Patrik de Laval.[14] This dramatically sped up the butter-making process by eliminating the slow step of letting cream naturally rise to the top of milk. Initially, whole milk was shipped to the butter factories, and the cream separation took place there. Soon, though, cream-separation technology became small and inexpensive enough to introduce an additional efficiency: the separation was accomplished on the farm, and the cream alone shipped to the factory. By 1900, more than half the butter produced in the United States was factory made; Europe followed suit shortly after.
In 1920, Otto Hunziker authored The Butter Industry, Prepared for Factory, School and Laboratory[15], a well-known text in the industry that enjoyed at least three editions (1920, 1927, 1940). As part of the efforts of the American Dairy Science Association, Professor Hunziker and others published articles regarding: causes of tallowiness[16] (an odor defect, distinct from rancidity, a taste defect); mottles[17] (an aesthetic issue related to uneven color); introduced salts[18]; the impact of creamery metals[19] and liquids[20]; and acidity measurement[21]. These and other ADSA publications helped standardize practices internationally.
Per capita butter consumption declined in most western nations during the 20th century, in large part because of the rising popularity of margarine, which is less expensive and, until recent years, was perceived as being healthier. In the United States, margarine consumption overtook butter during the 1950s[22] and it is still the case today that more margarine than butter is eaten in the U.S. and the EU.[23]
Shape of butter sticks
Western-pack shape butter
Western-pack shape butter
In the United States, butter sticks are usually produced and sold in 4-ounce sticks, wrapped in wax paper and sold four to a carton. This practice is believed to have originated in 1907 when Swift and Company began packaging butter in this manner for mass distribution.[24]
Due to historical variances in butter printers, these sticks are commonly produced in two differing shapes:
* The dominant shape east of the Rocky Mountains is the Elgin, or Eastern-pack shape. This shape was originally developed by the Elgin Butter Tub Company, founded in 1882 in Elgin, Illinois, and Rock Falls, Illinois. The sticks are 4¾ inches long and 1¼ inches (121 mm × 32 mm) wide, and are usually sold in somewhat cubical boxes stacked two by two.[25] Among the early butter printers to use this shape was the Elgin Butter Cutter.
* West of the Rocky Mountains, butter printers standardized on a different shape that is now referred to as the Western-pack shape.[25] These butter sticks are 3¼ inches long and 1½ inches wide (80 mm × 38 mm) and are typically sold packed side-by-side in a rectangular container.
Both sticks contain the same amount of butter, although most butter dishes are designed for Elgin-style butter sticks.
The stick's wrapper is usually marked off as eight tablespoons (120 ml/4.2 imp fl oz/4.1 US fl oz); the actual volume of one stick is approximately nine tablespoons (130 ml/4.6 imp fl oz/4.4 US fl oz).
Worldwide
Indian ghee in a jar
Indian ghee in a jar
India produces and consumes more butter than any other nation, and allocates almost half of its annual milk pool to butter production. In 1997, India produced 1,470,000 metric tons (1,620,000 short tons) of butter, most of which was consumed domestically.[26] Second in production was the United States (522,000 MT/575,000 short tons), followed by France (466,000 MT/514,000 short tons), Germany (442,000 MT/487,000 short tons), and New Zealand (307,000 MT/338,000 short tons). In terms of consumption, Germany was second after India, using 578,000 metric tons (637,000 short tons) of butter in 1997, followed by France (528,000 MT/582,000 short tons), Russia (514,000 MT/567,000 short tons), and the United States (505,000 MT/557,000 short tons). New Zealand, Australia, and the Ukraine are among the few nations that export a significant percentage of the butter they produce.[27]
Different varieties are found around the world. Smen is a spiced Moroccan clarified butter, buried in the ground and aged for months or years. Yak butter is important in Tibet; tsampa, barley flour mixed with yak butter, is a staple food. Butter tea is consumed in the Himalayan regions of Tibet, Bhutan, Nepal and India. It consists of tea served with intensely flavored — or "rancid"—yak butter and salt. In African and Asian developing nations, butter is traditionally made from sour milk rather than cream. It can take several hours of churning to produce workable butter grains from fermented milk.[28]
Storage and cooking
Normal butter softens to a spreadable consistency around 15 °C (60 °F), well above refrigerator temperatures. The "butter compartment" found in many refrigerators may be one of the warmer sections inside, but it still leaves butter quite hard. Until recently, many refrigerators sold in New Zealand featured a "butter conditioner", a compartment kept warmer than the rest of the refrigerator—but still cooler than room temperature—with a small heater.[29] Keeping butter tightly wrapped delays rancidity, which is hastened by exposure to light or air, and also helps prevent it from picking up other odors. Wrapped butter has a shelf life of several months at refrigerator temperatures.[30]
"French butter dishes" or "Acadian butter dishes" involve a lid with a long interior lip, which sits in a container holding a small amount of water. Usually the dish holds just enough water to submerge the interior lip when the dish is closed. Butter is packed into the lid. The water acts as a seal to keep the butter fresh, and also keeps the butter from overheating in hot temperatures. This allows butter to be safely stored on the countertop for several days without spoilage.
Once butter is softened, spices, herbs, or other flavoring agents can be mixed into it, producing what is called a compound butter or composite butter (sometimes also called composed butter). Compound butters can be used as spreads, or cooled, sliced, and placed onto hot food to melt into a sauce. Sweetened compound butters can be served with desserts; such hard sauces are often flavored with spirits.
Hollandaise sauce served over white asparagus and potatoes.
Hollandaise sauce served over white asparagus and potatoes.
Melted butter plays an important role in the preparation of sauces, most obviously in French cuisine. Beurre noisette (hazel butter) and Beurre noir (black butter) are sauces of melted butter cooked until the milk solids and sugars have turned golden or dark brown; they are often finished with an addition of vinegar or lemon juice. Hollandaise and béarnaise sauces are emulsions of egg yolk and melted butter; they are in essence mayonnaises made with butter instead of oil. Hollandaise and béarnaise sauces are stabilized with the powerful emulsifiers in the egg yolks, but butter itself contains enough emulsifiers—mostly remnants of the fat globule membranes—to form a stable emulsion on its own. Beurre blanc (white butter) is made by whisking butter into reduced vinegar or wine, forming an emulsion with the texture of thick cream. Beurre monté (prepared butter) is melted but still emulsified butter; it lends its name to the practice of "mounting" a sauce with butter: whisking cold butter into any water-based sauce at the end of cooking, giving the sauce a thicker body and a glossy shine—as well as a buttery taste.[31]
In Poland, the butter lamb (Baranek wielkanocny) is a traditional addition to the Easter Meal for many Polish Catholics. Butter is shaped into a lamb either by hand or in a lamb-shaped mould.
Butter is used for sautéing and frying, although its milk solids brown and burn above 150 °C (250 °F)—a rather low temperature for most applications. The smoke point of butterfat is around 200 °C (400 °F), so clarified butter or ghee is better suited to frying.[6] Ghee has always been a common frying medium in India, where many avoid other animal fats for cultural or religious reasons.
Mixing dissolved butter with chocolate to make a brownie
Mixing dissolved butter with chocolate to make a brownie
Butter fills several roles in baking, where it is used in a similar manner as other solid fats like lard, suet, or shortening, but has a flavor that may better complement sweet baked goods. Many cookie doughs and some cake batters are leavened, at least in part, by creaming butter and sugar together, which introduces air bubbles into the butter. The tiny bubbles locked within the butter expand in the heat of baking and aerate the cookie or cake. Some cookies like shortbread may have no other source of moisture but the water in the butter. Pastries like pie dough incorporate pieces of solid fat into the dough, which become flat layers of fat when the dough is rolled out. During baking, the fat melts away, leaving a flaky texture. Butter, because of its flavor, is a common choice for the fat in such a dough, but it can be more difficult to work with than shortening because of its low melting point. Pastry makers often chill all their ingredients and utensils while working with a butter dough.
Butter also has many non-culinary, traditional uses which are specific to certain cultures. For instance, in North America, applying butter to the handle of a door is a common prank on April Fools' Day.
Health and nutrition
Butter, unsalted
Nutritional value per 100 g (3.5 oz)
Energy 720 kcal 3000 kJ
Carbohydrates 0 g
Fat 81 g
- saturated 51 g
- monounsaturated 21 g
- polyunsaturated 3 g
Protein 1 g
Vitamin A equiv. 684 μg 76%
Cholesterol 215 mg
Fat percentage can vary.
See also Types of butter.
Percentages are relative to US
recommendations for adults.
Source: USDA Nutrient database
According to USDA figures, one tablespoon of butter (14 grams/0.5 ounces) contains 420 kilojoules (100 kcal), all from fat, 11 grams (0.4 oz) of fat, of which 7 grams (0.25 oz) are saturated fat, and 30 milligrams (0.46 gr) of cholesterol.[32] In other words, butter consists mostly of saturated fat and is a significant source of dietary cholesterol. For these reasons, butter has been generally considered to be a contributor to health problems, especially heart disease. For many years, vegetable margarine was recommended as a substitute, since it is an unsaturated fat and contains little or no cholesterol. In recent decades, though, it has become accepted that the trans fats contained in partially hydrogenated oils used in typical margarines significantly raise undesirable LDL cholesterol levels as well.[33] Trans-fat free margarines have since been developed.
Butter contains only traces of lactose, so moderate consumption of butter is not a problem for the lactose intolerant.[34] People with milk allergies need to avoid butter, which contains enough of the allergy-causing proteins to cause reactions.[35]
Butter can form a useful role in dieting by providing satiety. A small amount added to low fat foods such as vegetables may stave off feelings of hunger.
Diposting oleh AnTeKpErT di 00.14 0 komentar
sagu
sagu untuk semua..hehehehe9x...Sagu adalah salah satu sumber karbohidrat yang mencakup potensial dalam pengertian bahwa Indonesia memiliki hamparan hutan Sagu seluas lebih 1 juta hektar. Pada beberapa kali simposium Sagu baik nasional maupun internasional menunjukkan bahwa Indonesia termasuk satu dari 2 negara yang memiliki areal Sagu terbesar di dunia selain Papua Nugini. Areal Sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai penghasil tepung Sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal Sagu yang hanya sekitar 0,1% dari total areal Sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola Sagu sebagai akibat dari rendahnya kemampuan dalam memproduksi tepung Sagu melebihi kebutuhan masyarakat lokal, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung Sagu menjadi bentuk-bentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman Sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan Sagu adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya. Untuk pembenahan masalah tersebut dalam jangka pendek realistis dapat dilakukan adalah pembenahan terhadap keterbatasan kemampuan masyarakat dalam memproduksi tepung Sagu. Jika masyarakat memiliki teknik dan ketrampilan memadai maka produk Sagu akan menjadi bahan berharga, digemari masyarakat luas dan dapat menjadi komoditas bisnis. Dalam kondisi demikian dampak dari faktor lainnya akan menjadi lebih ringan. Masalah keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang teknik Pengolahan Sagu tercermin dari rendahnya produksi tepung Sagu masyarakat sebagai akibat penggunaan alat yang masih konvensional seperti alat penokok/ penggerak/mesin parut dan alat proses lainnya yang tidak sesuai dengan morfologi dan sifat fisik-kimia Sagu. Selain rendahnya kapasitas produksi, tenaga manusia sebagai penggerak cukup besar dan melelahkan. Survai ke tempat pengrajin Sagu di Kabupaten Kendari menunjukkan bahwa untuk mendapatkan ± 30 “basong Sagu” (1 basong = ± 20 kg Sagu basah yang dikemas dengan daun Sagu) dipekerjakan 4 orang untuk mengolah 2 pohon Sagu selama 6 hari. Jika setiap basong setara dengan 8,33 kg Sagu kering dengan harga ± Rp.1.500/kg maka pendapatan kotor setiap orang hanya berkisar Rp.6.250/hari dengan kapasitas olah 4 pohon/bulan (usaha sampingan).
Kalau petani dapat bekerja 300 hari per tahun secara rutin (usaha pokok) maka pendapatan petani menjadi Rp.25.000 per hari atau naik 4 kalinya. Bandingkan jika menggunakan alat semi mekanis dimana 2 pohon Sagu tersebut dapat diolah dalam 1 hari menghasilkan ± 300 kg tepung Sagu kering. Dengan demikian pendapatan petani dapat meningkat kurang lebih menjadi Rp.75.000/hari yang lebih berarti naik 12 kali dari keadaan saat ini. Dari kasus tersebut diatas jelas bahwa pembenahan masalah rendahnya pengetahuan masyarakat pengrajin Sagu terhadap teknik Pengolahan Sagu merupakan hal yang sangat penting dan diprioritaskan. Caranya adalah menciptakan suatu usaha atau metode ekstraksi tepung Sagu yang lebih efesien dari yang ada saat ini di masyarakat. Sentuhan teknologi dibuat sedemikian rupa sehingga potensi areal Sagu yang cukup luas itu dapat di manfaatkan sebagai potensi bahan baku yang dapat diolah secara seimbang untuk memproduksi tepung Sagu siap pakai. Sentuhan teknologi tersebut dapat dilakukan melalui alat ekstraksi tepat guna (murah, efesien dan praktis). Tulisan ini bertujuan memperkenalkan cara penerapan teknologi ekstraksi yang dapat meningkatkan produksi tepung Sagu pada industri kecil/masyarakat pengrajin Sagu seperti yang telah diujicobakan di Kabupaten Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara.
• Teknologi ekstraksi merupakan cara untuk mengeluarkan/melepaskan Pati dari serat (sel) tanaman dengan bantuan air. Cara ini merupakan rangkaian kegiatan penghancuran empulur, pembuatan slurry , pengadukan, penyaringan dan pengendapan.
• Ekstraksi (Pengolahan) Pati Sagu yang dipakai oleh industri kecil/pengrajin Saguadalah ekstraksi tradisional memiliki keseluruhan kegiatan tersebut diatas yang digerakan dengan tenaga manusia (manual) sehingga memiliki produktivitas yang rendah. Sebaliknya ekstraksi Pati Sagu yang memiliki sebagian kegiatan yang digerakkan dengan tenaga mekanis produktivitasnya tinggi.
• Dalam ujicoba penerapan teknologi ekstraksi semi mekanis (kapasitas olah 1,5 ton empulur/ hari) akan memiliki keunggulan dibanding ekstraksi tradisional yang juga diberi bobot empulur yang sama. Keunggulan tersebut berupa waktu proses lebih singkat, efisiensi proses lebih besar dan hasil olahan (Pati kering) juga lebih besar. Kondisi ini di sebabkan pemakaian alat proses terutama kinerja parut yang mampu menghancurkan empulur Sagu dibawah 0,5 cm sehingga Pati Sagu mudah terbawa ke fase air pada waktu pengadukan.
• Penerapan teknologi ekstraksi semi mekanis juga mampu memperbesar tingkat produksi sebesar 90 ton Pati kering/th atau 15 kali lebih besar dibanding dengan ekstraksi tradisional. Dengan nilai jual Pati kering sebesar Rp.1.500 /kg maka tingkat pendapatan pengrajin yang menggunakan ekstraksi semi mekanis akan mencapai Rp.75.000/orang/hari atau 12 kali lebih besar dibanding pengrajin yang menggunakan ekstraksi tradisional.
Diposting oleh AnTeKpErT di 00.12 0 komentar
Sabtu, 20 September 2008
parah PSM seri....
waktu sudah menunjukka pikul 21:00 kick off antara PSM Vs PSMS medan sudah berjalan dan masih banyak saja orang yang berkumpul diluar stadion berharap bisa masuk dan menonton pertandingan salah satunya aku,. layar lebar yang di janjikan macz man ternyata hanya isapan jepol saja,..payaH..gara2 suporte kurang ajar semuanya kena masalah..pertandingan babak pertama berlangsung seru aku da orang2 yang diluar pagar stadion yang dijaga ketat oleh aparat kemanan yang berasal dari satuan perintis dan brimob,,rasa penasaranku untuk menyaksikan tim kesayangan masyarakat sulsel itu membuatku nekat mencar jalan masuk untuk bisa menyaksikan jalannya pertandingan babak kedua, lompat pagar jadi salah satu alternatif untuk bisa masauk ke stadion..aku berhasil masuk distadion namun apalah daya semua pintu terunci poho dan genteng rumah pun sudah mulai rame oleh orang2 yang sama penasarannya denganku..dan akhirnya dipintu sebelah selatan aku dab eberapa orang berhasil memanjat pintu masuk penonton,,dari situ aku melihat jelas pertandingan babak kedua..sayang malam ini PSM lagi2 harus bermain seri setalah dimenit2 akhir harus kemasukan gol pinalti oleh pemain PSMS medan..sebenarnya PSM punya banyak peluang namun selalud i mentahkan oleh kiper dari PSMS meda (Galih Sudaryono)..PSM..PSM..paccei....
Diposting oleh AnTeKpErT di 23.48 0 komentar
Jumat, 19 September 2008
Tips agar bibir tampil seksi, merah dan menawan
1. Siapkan air putih 2 gelas
2. Sebelum minum berdoalah seyakin-yakinnya Anda
3. Minumlah air putih tersebut, langsung diteguk (tanpa jeda)
4. Lakukan senam bibir dengan langkah awal:
a. Majukan bibir Anda ke depan usahakan ± 5 cm selama 5 menit
b. Goyangkan bibir Anda ke kiri dan ke kanan sambil menyanyi potong bebek angsa (10 menit)
c. Gigit bibir Anda atas dan bawah sampai terlihat merah
5. Langkah diatas dilakukan selama 1 minggu dan lihat hasilnya pasti memuaskan
6. Jika tidak terlihat perbedaan yang nyata pada bibir Anda segeralah mencari sarang lebah terdekat, tempelkan bibir Anda ke sarang tersebut. Dijamin hasilnya pasti TOKCER!!!!
7. TIPS INI AKAN BERHASIL BILA DILAKUKAN DIDEPAN CERMIN!!
8. SELAMAT MENCOBA
R1P45 13:55/190908/analysis lab.UH
Diposting oleh AnTeKpErT di 13.46 0 komentar
jum'at....
fiuhhhh..hari jum'at sudah hari jum'at lagi..hari jumat yang ke tiga di buln ramadhan..entahlah hari ini apa yang terjadi dengan kehidupanku..yang penting hari ini semua harus bisa selesi semua penelitianku..harus jadi kadar abunya..harus hari ini dan datanya harus jadi semuanya..semuanya...yang terpenting Keep fight dan always Smile....
Diposting oleh AnTeKpErT di 09.37 0 komentar
Selasa, 16 September 2008
sejarah coklat
Tahukah anda, cokelat bukan berasal dari buahnya, melainkan dari bijinya? Daging biji cokelat yang lunak itulah asal-usul cokelat cake dan candies yang kita kenal selama ini. Dalam satu buah terdapat sekitar 30-50 butir biji. Biji cokelat ini terlebih dulu melalui proses fermentasi dan pengeringan sebelum dikirim ke pabrik untuk diolah. Buah cokelat umumnya terdapat di negara-negara tropis yang dekat khatulistiwa seperti Indonesia, yang tercatat sebagai negara penghasil cokelat terbesar ketiga di dunia. | |
Suku Indian Olmec di Amerika Tengah adalah pengguna cokelat pertama yang tercatat dalam sejarah, sekitar 3000 tahun yang lalu. Suku Olmec, yang kemudian diikuti oleh suku Maya dan Aztec, meminumnya dengan cara menuangkan dari satu pot ke pot yang lain untuk menciptakan gelembung busa di atasnya. Gelembung busa itulah bagian yang paling mereka sukai.
Biji cokelat juga digunakan sebagai mata uang pada masa itu.
Penjelajah dan misionaris Spanyol membawanya ke Eropa, dan langsung menjadi trend di kalangan aristokrat, yang meminumnya dengan menambahkan gula.
Lama setelah itu, akhirnya cokelat dalam bentuk batangan (chocolate bar) ditemukan oleh perusahaan Inggris bernama J.S. Fry and Sons pada 1847. Perusahaan cokelat terkemuka di dunia, Hershey, baru muncul pada tahun 1894.
| Di Indonesia, cokelat pertama kali diperkenalkan dalam bentuk minuman hangat di Batavia (Jakarta) pada awal abad ke-18. Pada tahun 1780-1790 sudah ada panen cokelat di Batavia, namun hasilnya tidak signifikan. Kemudian pada tahun 1822, cokelat mulai ada di Manado, lalu tahun 1830 sudah tumbuh di Ambon, tahun 1867 muncul di Halmahera, dan pada tahun 1880 cokelat dikembangkan oleh perusahaan swasta di Pulau Bacan. Pada tahun 1960, jumlah produksi biji cokelat di Indonesia masih sangat sedikit yaitu hanya 2.000 ton/tahun. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh rendahnya minat petani Indonesia untuk bertanam cokelat. Minat itu mulai tumbuh pada sekitar tahun 1970. Dan akhir tahun 1980, produksi cokelat Indonesia mulai meningkat dan sebagian besar berasal dari perkebungan cokelat di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan kawasan Indonesia bagian timur. Sekitar tahun 1988, jumlah produksi cokelat Indonesia sudah mencapai 60 ribu ton per tahun. |
Pada saat ini, menurut data statistik, negara yang paling banyak mengkonsumsi cokelat adalah negara Swiss, dimana rata-rata warga negaranya mengkonsumsi 11 kg cokelat setiap tahunnya.
Satu hal yang jarang diketahui orang, bahwa selain gula, lebih banyak lagi nutrisi yang terkandung dalam cokelat yang bermanfaat bagi kesehatan, seperti antioxidants, flavonoids, protein, kalsium, fosfor dan lainnya.
Riset membuktikan bahwa konsumsi antioxidants dapat mengurangi resiko penyakit jantung dan kanker. Antioxidants dalam 1.4 ons cokelat, setara dengan kandungan antioxidants dalam segelas wine atau 2 gelas black tea.
| |
Riset yang sama juga membuktikan bahwa konsumsi cokelat tidak ada hubungannya dengan kerusakan gigi dan pertumbuhan jerawat. Meskipun begitu, sama dengan jenis makanan lainnya, konsumsi cokelat dalam jumlah berlebih tetap akan merugikan bagi kesehatan karena kandungan gula didalamnya.
Untuk para penggemar cokelat, cokelat bukan lagi dikategorikan sebagai makanan. Cokelat adalah gairah, romantisme dan penambah semangat.
(dirangkum dari berbagai sumber)
Diposting oleh AnTeKpErT di 00.05 0 komentar
terpnetin kertas
II.1. Kertas
Kertas adalah bahan yang tipis dan rata, yang dihasilkan dengan kompresi serat. Serat yang digunakan biasanya adalah alami, dan mengandung selulosa. Kertas dikenal sebagai media utama untuk menulis, mencetak serta melukis dan banyak kegunaan lain yang dapat dilakukan dengan kertas misalnya kertas pembersih (tissue) yang digunakan untuk hidangan, kebersihan ataupun toilet (Anonim A, 2007).
Kertas terutama terdiri dari serat selulosa yang diperoleh dari kayu atau bahan selulosa lainnya yang melalui salah satu proses pembuatan pulp. Sifat pengemasan kertas sangat beragam, tergantung pada proses pengolahan dan pada perlakuan tambahan yang menghasilkan produk akhir. Sifat kekuatan dan mekanisnya bergantung pada perlakuan mekanis pada serat serta pada penambahan bahan pengisi dan pengikat (Anonim B, 2007)
Struktur dasar bubur kertas (pulp) dan kertas adalah felted mat dari serat selulosa. Komponen lain dapat meliputi hemiselulosa (15-90 unit glukosa terulang), lignin (unit fenil propan terpolimerisasi kompleks, berada sebagai lem yang melengketkan serat–serat), bahan bahan terekstrak (lemak, lilin, alkohol, fenol, asam aromatis, minyak esensial, oleoresin, stereol, alkaloid dan pigmen), mineral dan isi lainnya. Dalam proses pembuatan kertas, terkadang digunakan senyawaan klor sebagai bahan pemutih. Selain itu, kemasan dari kertas dan karton seringkali diberi aditif seperti adhesive, alumunium, pewarna atau bahan pelapis yang dapat mengandung bahan berbahaya. Belum banyak studi yang dilakukan, namun beberapa studi menyatakan bahwa migrasi dari kemasan dan karton dapat terjadi. Fenomena set-off berarti komponen tinta cetak berpindah dari permukaan yang dicetak ke permukaan yang tidak dicetak melalui kontak langsung selama pembuatan bahan, penyimpanan atau penggunaan. Fenomena tersebut umumnya melibatkan bahan lain selain pewarna, dan karena itu tidak dapat terlihat (Anonim C, 2007).
II.2. Jenis-jenis Kertas
Penetrasi minyak (IGT) adalah besaran yang menyatakan sifat penyerapan kertas dan karton terhadap zat cair standar, dihitung berdasarkan kebalikan panjang hasil cetakan pada jalur uji, dinyatakan dalam satuan 1000/nm, diukur menggunakan alat uji cetak IGT pada kondisi standar. Menurut Anonim D (2007), beberapa jenis kertas dan pengertiannnya yaitu sebagai berikut :
1. Kertas tulis A : merupakan istilah pengganti bagi jenis kertas HVS (Hount Vrij Schrijf Papier) yang lazim terdapat dipasaran di
2. Kertas sekuritas adalah kertas tulis atau cetak yang dibuat secara khusus dari pulp kimia, awet, tahan lipat dan kedap air, mempunyai sifat tulis dan sifat cetak yang baik.
3. Kertas cetak A : merupakan istilah pengganti jenis kertas HVO (Hout Vrij Offset Papier) yan lazim terdapat dipasaran Indonesia adalah kertas yang khusus dibuat dari pulp kimia, dapat mengandung pulp mekanis maksimal 15% digunakan untuk keperluan cetak mencetak.
4. Kertas permanent adalah kertas yang memiliki pH (tingkat kelembaban acid dan alkali) netral yang dinyatakan baik oleh Australian Standard AS 4003 Permanen Paper, kertas ini dapat digunakan sebagai kertas copy 80 gram dan juga dapat untuk kertas laser, photocopy dan faksimil.
5. Kertas berwarna :
a. Kertas ini mengandung tingkat tinggi acid, artinya harus hati-hati dalam penanganannya, terlebih untuk jangka waktu yang lama atau tahun. Apabila kertas ini dalam file memburuk, nilai informasinya akan hilang, dan masalah di masa depan.
b. Warna kertas copy ini juga bermasalah di masa datang jika suatu keputusan dibuat dalam bentuk microfilm. Kertas warna dan tinta warna yang sering dibuat dalam copy mikrofilm akan sulit membacanya.
Kertas khusus salah satu jenisnya yang banyak digunakan yaitu kertas tahan minyak (kertas glasin) mempunyai permukaan yang halus, mengkilap dan tahan penetrasi minyak, dibuat dalam lima jenis komponen serat panjang dan serat pendek yang berbeda dan dengan cara internal sizing, suface sizing dan pelapisan menggunakan campuran bahan salut dengan variasi binder PVA dan lateks menggunakan rancangan percobaan faktorial acak lengkap dengan pengujian meliputi gramatur, tebal, gurley, penetrasi minyak, opasitas derajat putih, kilap, kekasaran, pH, dan ketahanan cabut. Pembuatan kertas glasin dengan proses pelapisan secara umum meningkatkan sifat cetak, dan ketahanan kertas, jenis variasi binder dengan PVA lebih banyak akan meningkatkan ketahanan minyak, opasitas dan ketahanan lipat, sedangkan pemakaian lateks yang tinggi akan meningkatkan kelicinan, serat panjang cenderung meningkatkan ketahanan retak dan sobek, untuk sifat lain cenderung dipengaruhi oleh kualitas antar serat (Elyani dkk., 2005).
Kertas dibagi dua dalam klasifikasi yang luas, ialah cultural papers atau fine paper dan industrial paper atau coarse papers. Cultural paper yaitu antara lain printing paper, litho paper, artpaper dan lain-lain. Industrial paper yaitu antara lain kraft paper, manila paper, glassine paper, grease-proof paper dan lain-lain. Untuk keperluan kemas fleksible, selain menggunakan kertas industri seperti kraft paper dan glassine paper juga digunakan cultural paper, seperti litho paper dan art paper. Kraft paper, karena sifatnya yang kuat, banyak digunakan dibidang kemas fleksible, terutama sebagai shopping bag. Kertas kraft digunakan juga pada pembuat multi wall shipping bag, kertas yang banyak juga digunakan untuk kemas fleksibel adalah glassine dan grease proof paper. Penampilan dan sifat yang khusus dari kertas ini, bukan karena penambahan aditif, tetapi karena sifat dari pulp yang dipakai (Anonim E, 2007).
Kalkir adalah jenis kertas yang liat dan agak tembus pandang (buram). Karena sifatnya yang tak mudah sobek, kertas kalkir sering dipakai untuk membuat menggambar desain arsitektur dan lansekap. Bahkan teksturnya yang kaku itu jika dipakai untuk kotak (pembungkus) kado memberi kesan eksklusif. Dalam perkembangannya, karena proses kreatif, kertas kalkir menjadi bahan untuk kerajinan yang khas. Misalnya tak cuma untuk dibuat kartu ucapan, tapi juga amplop, sisipan buku, boks kado, kap lampu dan sebagainya, dengan diberi motif gambar yang timbul (embos). Inilah yang kemudian dikenal sebagai parchment craft. Yang membuatnya tampil unik, ada gambar-gambar bermotif bunga, binatang, daun dan sebagainya. Gambar tersebut dibuat dengan teknik embos sehingga permukaannya timbul, ditambah dengan warna-warni yang serasi. Bagi yang pertama melihat akan berdecak kagum. Bagaimana bisa kertas itu menjadi begitu indah. Hanya perlu ketelitian dan kesabaran (Anonim F, 2007).
II.3. Manfaat Kertas
Kertas dapat digunakan sebagai bahan kemas yang lentur atau sebagai bahan konstruksi untuk wadah yang kaku. Pengemas yang lentur antara lain kertas bungkus, kantong amplop dan pelapis. Beberapa jenis kertas yang sering digunakan untuk tujuan ini adalah kertas kraft, kertas tidak tembus minyak, kertas minyak, kertas berlilin, dan kertas yang dikonversi dengan pebaceman, penyalutan dan laminasi. Wadah kertas yang kaku terdiri dari berbagai jenis, beragam dari segi bahan dan metode konstruksinya, seperti kotak rokok (slof), karton, kaleng berserat, drum, gelas kedap cair, kemasan bidang empat dan sebaginya (Anonim G, 2007).
II.4. Proses Pembuatan Kertas
Jenis kertas perkamen dibuat dengan melewatkan air dimana pulp kimia yang bermutu tinggi melalui suatu bak asam sulfat kemudian dicuci seluruhnya dan dikeringkan dengan alat pengering kertas. Kertas perkamen ini mempunyai ketahanan lemak yang baik, khususnya pada berat yang lebih tinggi dan mempunyai kekuatan basa yang baik sekali walaupun dalam iar mendidih. Kertas ini mempunyai permukaan bebas serta tidak berbau dan tidak berasa. Kertas perkamen sering disebut kertas glasin karena sifatnya yang transparan. Kertas ini umumnya digunakan untuk kemasan mentega, margarine, kue, keju, daging, the dan kopi (Anonim F, 2007).
Kertas glassin dan kertas tahan minyak dibuat dengan memperpanjang pengocokan pulp dalam persiapannya sebelum kemesin pembuatan kertas. Penampakan dan sifat-sifat kertas ini seluruhnya harus dibuat dari pulp tanpa suatu bahan tambahan. Kertas glasin sama dengan kertas tahan minyak, dengan permukaan seperti gelas dan transparan. Istilah grease proof digunakan untuk kertas dari bahan yang berhubungan dengan sifat-sifat tahan minyak itu. Seperti halnya glasin, grease proof mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap lemak, gemuk dan minyak. Tidak tahan terhadap air walaupun permukaannya telah dilapisi dengan bahan tahan air seperti lak dan lilin. Kertas glasin dijadikan bahan dasar untuk lamirat (Anonim D, 2007).
Jenis kertas sebagian besar dapat diberi lilin dalam jumlah sedikit dalam proses pembuatan kertas atau dapat ditambahkan pada lembaran akhir dengan perlakuan lilin atau kertas wax atau kertas lilin adalah salah satu penghambat air dengan biaya rendah dan mempunyai ketahanan yang baik terhadap lemak, dan karakteristik daya rekat panas yang baik, sangat berguna untuk mengemas benda-benda seperti makanan, sabun tembakau dan produk-produk sejenisnya (Anonim B, 2007).
II.5. Minyak Terpentin
Minyak terpentin adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan cara penyulingan uap getah Tusam (Pinus sp.) dengan senyawa utamanya yaitu alpha pinene. Pengujian minyak lemak pada minyak terpentin menurut Anonim G (2007), terdapat beberapa tahap yaitu :
ü Ke dalam tabung kimia larutkan 1 ml contoh uji dengan 9 ml alkohol 80 %.
ü Masukkan tabung kimia ke dalam termos es yang berisi campuran es dan garam dapur dengan perbandingan 3:1 dan biarkan selama 12 jam.
ü Kemudian amati apakah terdapat gumpalan atau tidak, kalau ada gumpalan berarti minyak terpentin mengandung minyak lemak.
II.6. Pengujian Ketahanan Kertas Terhadap Minyak
Pengujian ketahanan kertas terhadap minyak dilakukan dengan tes terpentin. Kertas yang akan di uji mula-mula diletakkan di atas kertas indikator yang berwarna putih. Diatas kertas yang akan di uji tersebut dituangkan pasir sedemikian rupa sehingga membentuk kerucut kecil. Setelah itu terpentin yang berwarna merah dituangkan diatas puncak kerucut kecil itu. Waktu dari penuangan terpentin sampai terbentuknya spot merah pertama kali, adalah waktu yang menunjukkan tingkat ketahanan kertas terhadap minyak. Semakin lama waktu
tersebut berarti kertas semakin tahan terhadap minyak. Kertas yang tahan minyak relatif lebih mahal harganya. Oleh karena itu penting untuk mengetahui ketahanan kertas terhadap minyak (Anonim E, 2007).
Diposting oleh AnTeKpErT di 00.04 4 komentar