Guru Besar Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Jhon Haluan mengemukakan, buah pohon picung atau kluwak (Jawa), yang telah diteliti mahasiswa S-2 Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB, RA Hangesti Emi Widyasari, adalah solusi bagi sulitnya para nelayan terhadap kebutuhan es batu (balok) guna mengawetkan ikan segar.
"(Riset buah picung) itu merupakan terobosan dalam mengatasi kesulitan pemerolehan dan menekan harga es batu bagi nelayan, disamping menghindari penggunaan larutan formalin yang berbahaya bagi kesehatan manusia," katanya di Bogor, Sabtu.
Jhon Haluan, yang juga dosen pembimbing RA Hangesti Emi Widyasari mengenai buah picung itu, mengatakan bahwa apa yang diteliti mahasiswanya itu menjadi salah satu solusi mendasar bagaimana memanfaatkan sumberdaya alam (SDA) alami bagi kebutuhan yang cukup aman dalam industri pengawetan ikan segar itu.
Ia mengatakan, kelebihan lain dari buah picung, karena tumbuhan ini banyak tersebar di seluruh Nusantara.
Selain lazim sebagai bumbu masak dapur, kata dia, biji buah picung juga bisa dimanfaatkan sebagai pengawet alami ikan segar, seperti telah diteliti mahasiswanya itu.
"Kombinasi 2 persen biji buah picung dan 2 persen garam dari total berat ikan telah mampu mengawetkan ikan kembung segar selama enam hari tanpa mengubah mutu," katanya.
Normalnya, ikan kembung segar yang disimpan di suhu kamar tanpa penambahan picung atau es hanya bisa bertahan enam jam. Lebih dari itu, ikan tersebut akan busuk dan rusak.
"Jadi, hasil penelitian RA Hangesti Emi Widyasari ini, merupakan terobosan yang cukup solutif, terlebih saat ini sedang ramai isu formalin yang dipakai untuk pengawet makanan, mesti fungsi formalin bukan untuk makanan," katanya.
Ia menjelaskan, seorang nelayan untuk mempertahankan mutu ikan hasil tangkapannya membutuhkan es batu minimal 1:1 berat ikan segar.
"Bila ikan yang ditangkap 50 kg, maka nelayan membutuhkan es batu minimal 50 kg pula. Namun dengan memanfaatkan cacahan biji buah picung, nelayan hanya membutuhkan 1 kg cacahan biji buah picung untuk 50 kg ikan segar," katanya dan menambahkan bahwa di pasaran 1 kilogram buah picung dihargai sekitar Rp3.000 sampai Rp4.000.
Menurut Hangesti, pemanfaatan biji buah picung sudah dikenal secara tradisional dan hingga kini masih dipakai oleh para nelayan di Kecamatan Labuhan, Propinsi Banten.
"Mereka melumuri ikan hasil ikan tangkapannya dengan cacahan biji buah picung. Setelah penyimpanan enam hari ikan tersebut dapat langsung dimasak tanpa perlu penambahan bumbu," katanya.
Mengenai mekanismenya, kata dia cukup sederhana, pertama pengupasan biji picung, kedua dilakukan pencacahan daging biji picung, ketiga pencampuran picung dengan garam, keempat pelumuran (campuran picung dan garam pada ikan kembung segar, kelima pengemasan (dalam ember plastik tertutup, setiap hari dibuka selama 5 menit), keenam penyimpanan dalam suhu kamar.
Menurut dia, biji picung mengandung senyawa antioksidan dan golongan flavonoid. Senyawa antioksidan yang berfungsi sebagai antikanker dalam biji picung antara lain : vitamin C, ion besi, dan B karoten. Sedangkan golongan flavonoid biji picung yang memiliki aktivitas antibakteri yakni asam sianida, asam hidnokarpat, asam khaulmograt, asam glorat dan tanin.
Khusus senyawa asam sianida dan tanin, kedua senyawa inilah yang mampu memberikan efek pengawetan terhadap ikan.
Asam sianida biji picung ini sangat beracun. Oleh karena itu, Hangesti mewanti-wanti agar tak melakukan proses pengawetan dihadapan ayam atau binatang ternak. Sebab bila asam sianida ini terhirup langsung hewan ternak bisa mengakibatkan kematian.
"Meskipun asam sianida biji picung sangat beracun, tetapi mudah dihilangkan karena sifatnya mudah larut dan menguap pada suhu 26 derajat C, sehingga aman sebagai pengawet ikan," katanya