HEBOH formalin sebagai bahan pengawet makanan menyadarkan kita—khususnya masyarakat konsumen—akan perlunya kehati-hatian mengonsumsi setiap gram makanan yang masuk ke mulut dan perut kita. Tujuan kita makan adalah demi menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup. Lantas, apa artinya jika dalam setiap asupan makanan itu terkandung pula bahan-bahan kimia berbahaya yang justru mengancam kesehatan dan nyawa kita? Makanan bergizi memang diutamakan. Namun, makanan sehat dan aman, mesti lebih diprioritaskan.
DI balik perannya yang ”hanya” sebagai bumbu dapur, produk-produk pertanian ini berpotensi sebagai pengawet makanan yang aman dan murah.*MUHTAR IT/”PR” |
“Geger” formalin juga menggugah keterlenaan kita, betapa kita telah melupakan khazanah kekayaan sumber daya hayati dan kearifan tradisi yang sudah tumbuh bertahun-tahun di bumi pertiwi. Para leluhur kita sejak jauh-hari telah mengajarkan cara hidup yang sehat dengan cara bergaul dengan alam. Tak terkecuali dalam hal mengelola dan memilih bahan makanan. Kita, yang hidup di alam modern, atas nama kemajuan dan peradaban, cenderung melupakan cara hidup sehat tradisional yang jelas-jelas lebih natural, sehat, aman, dan relatif murah.
Sebagai produsen, masyarakat modern banyak terjebak ke dalam perangkap dan godaan ekonomi. Jalan pintas pun dirambah. Demi memenuhi kebutuhan orang banyak, bahan pangan pun diproduksi secara masal. Demi mempertahankan keberlangsungan stok sehingga demand terpenuhi, berbagai cara mengawetkan makanan pun dilakukan. Itu pun harus dilakukan dengan biaya murah. Maka, berbagai cara pun ditempuh, termasuk menggunakan formalin sebagai pengawet makanan. Padahal, jelas-jelas formalin terlarang untuk produk pangan karena mengandung senyawa kimia yang berbahaya bagi kesehatan.
Tak cukup formalin. Agar makanan tampak menarik, dibuatlah beraneka ragam warna yang menarik. Sayangnya, penambahan pewarna makanan pun tak memedulikan kepentingan kesehatan konsumen, zat pewarna tekstil digunakan. Itu pun masih belum cukup. Senyawa-senyawa berbahaya lainnya seolah berlomba menyelinap dalam berbagai jenis makanan. Ada boraks pada tahu dan “bola” bakso sehingga tampak kenyal. Ada juga MSG yang sebagai penyedap rasa jika dikonsumsi berlebih, tak kalah berbahaya bagi kesehatan tubuh.
Back to nature! Itulah gerakan yang seharusnya kita lakukan sekarang. Dari berbagai penelitian para ahli terbukti, bahan-bahan pengawet makanan alami yang bisa menggantikan formalin tersedia melimpah di alam. Sebut saja hasil penelitian Dr. Linawati Hardjito, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, berupa kitosan. Semula, kitosan–senyawa polimer turunan dari kitin–biasa digunakan sebagai penyerap warna pada tekstil dan logam berat. Namun, dari penelitian yang dilakukan Linawati dkk sejak tahun 1992, kitosan ternyata mampu digunakan sebagai bahan pengawet.
Hal ini disebabkan dalam kitosan terdapat gugus aktif yang berikatan dengan mikroba, sehingga mampu menghambat pertumbuhah mikroba. Sifat ini mirip yang dimiliki formalin, sehingga bahan makanan yang dicelupkan ke dalam larutan kitosan bisa awet karena aktivitas mikroba terhambat. Untuk mengawetkan tahu, cukup dengan melarutkan 15 gram kitosan ke dalam 1 liter air. Setelah itu, tahu yang ingin diawetkan cukup dicelupkan selama 10 menit, lalu dipindahkan ke rendaman biasa. Tahu bisa tahan lama. Dibandingkan formalin, kitosan jelas punya kelebihan, yakni tidak menimbulkan efek kimia yang berbahaya bagi tubuh seperti halnya formalin. Sumber kitosan cukup melimpah di alam, khususnya sisa buangan hasil laut seperti cangkang kepiting, udang, jamur, dan sejumlah hewan.
Hasil penelitian Linawati juga memberi solusi pengganti boraks (bleng) yang banyak digunakan untuk mengenyalkan bakso. Bahannya tak jauh-jauh dari laut, yakni rumput laut yang melimpah di perairan nusantara. Bukan saja biayanya lebih murah dan aman dikonsumsi, penggunaan rumput laut juga menjadikan bakso lebih kenyal, kaya serat, dan berkualitas.
Cara lain mengawetkan bahan pangan adalah melalui metode pengasapan seperti yang dikembangkan dosen Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Drs. A.H. Bambang Setiadji, M.Sc., Ph.D. Metode pengasapan memang sudah lazim dilakukan orang-orang dahulu. Namun, metode yang dikembangkan Bambang bukan pengasapan langsung, melainkan sudah dimodifikasi menjadi pengasapan cair (liquid smoke) dari tempurung kelapa. Meski demikian, harganya relatif murah dan aman. Uniknya, metode yang dikembangkan Bambang, meski belum popular dan diterima masyarakat Indonesia, sudah mendapat sertifikat sehat dari Kanada.
Bahan pengawet lain juga tersedia di dapur. Bumbu makanan seperti bawang putih, cabe merah, lengkuas, kunyit, hingga jahe, diyakini memiliki kemampuan sebagai pengawet. Secara klinis bahan-bahan tersebut sudah terbukti di lapangan, meski belum dikembangkan dalam produk massal di pasaran. Dengan fakta ini semakin menegaskan, bahan pengawet sebenarnya tersedia melimpah di alam dan sangat aman, serta sangat murah.
Sudah begitu, penggunaan bahan-bahan alami sebagai pengawet, bumbu penyedap, dan pewarna makanan, juga akan memberi efek ganda. Selama ini, bahan-bahan alami yang bisa dijadikan pengawet sudah lama dikenal sebagai sumber tradisional yang bisa menunjang kesehatan. Sebut saja lengkuas, kunyit, bawang putih, ataupun bahan-bahan alami lain. Ternyata, kandungan kimia yang terdapat di dalam “bumbu dapur” itu terdapat senyawa yang bisa difungsikan sebagai pengawet makanan.
Jadi, mengapa kita mesti repot-repot menggunakan formalin. Bukankah akan lebih baik jika kembali ke produk alami yang ada di bumi kita sendiri? Tinggal, adakah kemauan dari kita untuk melakukan itu semua? (Syarifah/dari berbagai sumber)***PR-Kamis, 26 Januari 2006
0 komentar:
Posting Komentar