Selasa, 16 September 2008

tentang sagu..dikit

Sagu terdiri dari dua jenis, yaitu Metroxylon sagus Rooth yang berduri, dan M.rumphi yang berduri. Tanaman ini berasal dari Maluku kemudian menyebar keberbagai daerah rendah di Indonesia, seluas 5-6 juta Ha berupa hutan Sagu alami, dan hanya 0,2 juta Ha berareal budidaya. Batang Sagu mengandung pati yang dapat diekstrak secara mudah dengan cara tradisional. pati sagu merupakan makanan pokok pada sebagian penduduk Maluku, Papua dan Mentawai. Dibanding pati tanaman pati Sagu relatif mudah dicerna. Tanaman Sagu dapat dipanen untuk diambil patinya pada umur 12 tahun pada saat mulai mengeluarkan bakal buah. Jika panen dilakukan pada saat tanaman telah membentuk buah, tanaman akan kurang mengandung pati sehingga hasil ekstraksi pati lebih sedikit.

Tanaman yang tumbuh membentuk rumpun, jumlah batang dan rumpun terdiri dari 2 hingga 8 batang dan setiap pangkalnya ditumbuhi tunas baru sebagai calon batang. Batang sagu dapat mencapai ketinggian 8-10 meter. Daunnya bersirip, mirip daun kelapa. Bunganya terletak diujung batang. Sagu hanya sekali berbunga, kemudian mati. Buahnya bersisik, cokelat kekuning-kuningan. Sagu dapat tumbuh pada kondisi tanah apa saja, tidak memerlukan pemupukan dan perawatan. Mampu beradaptasi dengan lingkungan yang buruk, seperti kekeringan, angin kencang, dan serangan hama tanaman. Pohon sagu dapat dipanen jika sudah berumur sekitar 10-23 tahun. Hasil utama dari pohon sagu ini adalah pati sagu. Secara tradisional pengolahan batang sagu sampai menjadi pati sagu adalah sebagai berikut: batang sagu dibersihkan, dipotong-potong, dikupas, diparut galus, diperas, lalu disaring. Hasil perasan diendapkan menjadi tepung basah, kemudian dikeringkan.

Sagu adalah salah satu sumber karbohidrat yang mencakup potensial dalam pengertian bahwa Indonesia memiliki hamparan hutan sagu seluas lebih 1 juta hektar. Pada beberapa kali simposium sagu baik nasional maupun internasional menunjukkan bahwa Indonesia termasuk satu dari 2 negara yang memiliki areal sagu terbesar di dunia selain Papua Nugini. Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar 0,1% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu sebagai akibat dari rendahnya kemampuan dalam memproduksi tepung sagu melebihi kebutuhan masyarakat lokal, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung sagu menjadi bentuk-bentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya. Untuk pembenahan masalah tersebut dalam jangka pendek realistis dapat dilakukan adalah pembenahan terhadap keterbatasan kemampuan masyarakat dalam memproduksi tepung sagu. Jika masyarakat memiliki teknik dan ketrampilan memadai maka produk sagu akan menjadi bahan berharga, digemari masyarakat luas dan dapat menjadi komoditas bisnis. Dalam kondisi demikian dampak dari faktor lainnya akan menjadi lebih ringan. Masalah keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang teknik pengolahan sagu tercermin dari rendahnya produksi tepung sagu masyarakat sebagai akibat penggunaan alat yang masih konvensional seperti alat penokok/ penggerak/mesin parut dan alat proses lainnya yang tidak sesuai dengan morfologi dan sifat fisik-kimia sagu. Selain rendahnya kapasitas produksi, tenaga manusia sebagai penggerak cukup besar dan melelahkan.

Bahan baku utama pembuatan sohun adalah pati sagu/aren yang diperoleh melalui pemasok. Bahan baku ini merupakan produk lokal dan mudah didapatkan. Produksi pati sagu di Indonesia pada akhir tahun 2004 mencapai 200.000 ton pertahun. Pati sagu ini banyak dihasilkan di Indonesia terutama diluar Pulau Jawa, seperti di Riau, Maluku dan Papua. Untuk memperoleh mutu sohun yang baik diperlukan pati sagu dari pohon sagu yang masa produksinya sedang bagus/siap panen yaitu pada saat batang pohon mengandung pati paling banyak. Hal ini biasanya tergantung jenis pohon sagu dan patokan yang digunakan oleh petani sagu biasanya berupa perubahan fisik dari pohon sagu. Seperti pada pohon sagu jenis Metroxylon rumpii martius, saat panen (kandungan pati paling tinggi) ditandai dengan menguningnya pelepah daun, hilangnya duri yang terdapat pada pelepah daun kecuali sedikit pada bagian pangkal pelepah serta terbentuknya daun muda dengan ukuran yang mengecil dan memendek. Fase ini di Maluku dikenal dengan istilah fase Maputih.
Pati dari pohon sagu muda mempunyai rendemen rendah dan mempengaruhi mutu sohun yang dihasilkan. Pada umumnya rendemen pati sagu dengan kualitas baik berkisar antara 60% 70%.Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan sohun ini yaitu air, kaporit, dan minyak sawit/mentega. Pati midro/ganyong sering ditambahkan untuk memperbaiki mutu sohun yang dihasilkan seperti keuletan, namun bahan ini sulit didapatkan sehingga jarang digunakan. Pewarna biru sering juga digunakan untuk membuat sohun berwarna biru.

Tanaman sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif bagi masyarakat Indonesia selain padi. Pasalnya, sagu menghasilkan pati kering sebagai bahan pangan sumber karbohidrat.

Indonesia memiliki areal tanaman sagu terbesar di dunia, sekitar 1.128 juta hektare atau 51,3 persen dari 2.291 juta hektar areal sagu dunia. Sekitar 90 persen areal tanaman ini terdapat di Papua dan Maluku. Tak mengherankan jika sagu merupakan makanan pokok masyarakat Papua, seperti halnya beras di daerah lain.

Di Papua terdapat sekitar 20 jenis sagu, dengan warna tepung beragam, mulai dari merah, cokelat, kuning, putih, abu-abu, hingga kehitaman. Yang paling disukai penduduk Papua adalah sagu putih. Meski beragam jenis, hanya dua spesies yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Indonesia, yakni jenis berduri (Metroxylon rumphii Mart) dan tak berduri (Metroxylon sagu Rottb).

Tanaman sagu umumnya dipanen setelah berumur 10-12 tahun, yakni sebelum berbunga. Pada saat itulah kandungan patinya paling tinggi. Pohon ditebang dengan kapak / gergaji, yang jaraknya dekat dengan permukaan tanah.

Batang sagu lantas dipotong-potong dengan ukuran 75 cm, sekadar memudahkan pengangkutan ke tempat pemrosesan. Untuk mendapatkan kualitas terbaik, potongan batang harus segera diproses.

Mula-mula batang sagu dibuang kulit luarnya dengan menggunakan kapak. Bagian daging batangnya dibelah selebar 10-15 cm, agar mudah dipegang saat pemarutan. Hasil parutan batang sagu lalu dicampur air, diaduk, serta diremas-remas, untuk melepas bagian pati dari serat batang. Bagian pati akan larut dalam air pencuci, kemudian disaring. Hasil saringan ini didiamkan hingga memisah menjadi bagian cair (berwarna merah) dan endapan pati (berwarna putih). Cairan merah dibuang, dan diganti dengan air baru.

Proses itu dilakukan beberapa kali, sehingga diperoleh pati sagu yang putih bersih. Selanjutnya, pati dijemur selama beberapa hari sampai diperoleh tepung sagu kering dan tahan untuk disimpan lama. Tepung sagu dapat diolah menjadi sinoli (karu-karu), bagea, sagu mutiara, dan sagu lempeng. Sinoli terbuat dari tepung sagu segar yang diremas-remas, kemudian disangrai sehingga berbentuk butiran atau gumpalan tak beraturan. Sagu lempeng merupakan jenis makanan yang dibuat dengan cara dibakar di dalam forna (cetakan dari batu / tanah liat), sehingga menghasilkan lempengan kering berwarna cokelat.

Berdasarkan nilai gizinya, tepung sagu memiliki beberapa kelebihan ketimbang tepung dari tanaman umbi atau serelia. Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Departemen Pertanian, tanaman sagu mengandung pati tidak tercerna yang penting bagi kesehatan pencernaan.

Oleh sebab itu, sagu baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi. Sebab mi berbahan tepung sagu lebih sehat daripada mi dari terigu. Menurut peneliti ahli dari Universitas Kochi Jepang, Yoshinori Yamamoto, beberapa varitas sagu di sekitar Danau Sentani, Papua, mempunyai kadar pati tinggi. Sagu juga dapat dimanfaatkan sebagai komoditas pengganti beras yang bernilai gizi tinggi.

Indonesia memiliki modal penting untuk mengembangkan industri pengolahan sagu. Selain sebagai bahan pangan, pati sagu juga bisa digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik dan plastik yang ramah lingkungan.

Sagu ditebang dan diambil patinya pada usia 2-3 tahun. Pokok sagu ditebang kemudian dagingnya diambil dan ditumbuk. Bagian pati/tepung dipisah dari tulang/duri daging dengan mengayak. Ada yang menyiram dengan air, kemudian memeras (menyaring) pati sagu. Ampas sagu dibuang dan sarinya diambil, kemudian dipadatkan. Namun ada jenis tertentu yang sebagian besar menyimpan daging (tepung) sagu sehingga tidak mempersulit masyarakat yang mengkonsumsinya.

Pati sagu berupa tepung berwarna putih, dipadatkan, kemudian disimpan di dalam keranjang daun sagu. Biasanya berat satu keranjang sampai 30 kilogram. Untuk memproses batang sagu menjadi tepung, dibutuhkan keterampilan khusus. Bahkan di kalangan suku tertentu, dibuat upacara adat sebelum menebang pokok sagu, dengan harapan lebih banyak panen hasil sagu.

Biasanya satu pokok (pohon) sagu dapat memberi makan sampai 10 orang selama 2-3 pekan, bahkan satu bulan. Batangan/lempeng pati sagu yang dipadatkan disimpan di tempat kering sebagai persediaan makanan. Menebang sampai proses mendapatkan pati sagu memerlukan waktu 3-7 hari tergantung keterampilan masing-masing.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mosok 'sagu dipanen dan ditebang pd usia 2-3 thn'? Apa ga salah neh?!